#Akhir musim semi tahun 2007(Mei)
Bagi kebanyakan orang, asrama adalah
tempat yang membosankan dan tidak “cool”.
Apalagi tata ruangnya yang kaku dan terkadang kita harus berbagi kamar dengan
tiga sampai lima orang. Tapi hari ini ada seseorang yang amat senang karena
impiannya sejak kecil terkabul. Tinggal di asrama dan jauh dari pengawasan dan
perlindungan orang tua adalah impian terbesarnya.
Selesai mendaftar sebagai siswa baru, Kepala asrama memberinya sebuah kunci kamar bernomor 308. Dengan langkah mantap, ia menaiki tangga asrama satu per satu. Tak disangka, anak tangganya banyak sekali. Lantai 4 tujuannya. Fiuh.. Ia menghela napas. Maklum saja, ia termasuk pendaftar bontot, terpaksa dapat kamar yang paling tidak strategis.
Hatiku berdebar-debar saat ia memutar kuncinya. Akhirnya, setelah sekian lama, aku memiliki teman. Namanya Aiko Konoe. Hmm.. Aiko melihat berkeliling. Dua buah tempat tidur bertingkat dan dua buah tempat tidur kecil ukuran single. Di ujung ruangan terdapat jendela besar yang tersambung ke beranda kamar. Biasanya di sanalah para siswa menjemur pakaiannya. Di dekat pintu masuk, sebuah kitchen set mini tertata apik dan dan dibatasi lantai terpisah yang agak tinggi. Di antara kedua tempat tidur tingkat, jendela yang agak kecil tegak kokoh dihiasi gordyn berwarna soft yang jika ditarik di luarnya akan terlihat pohon rindang hijau yang tinggi menjulang. Sementara itu, Aiko meletakkan bawaaannya ke atas meja yang berfungsi sebagai meja belajar. Ia memilih meja yang agak menjorok ke jendela kamar yang mendampingi jendela besar yang menuju beranda.
“Sepi..” Batinnya saat melewati tempat tidur yang kosong. Di tengah ruangan, permadani besar membentang dan di atasnya ada sebuah meja kecil berpenghangat yang dilengkapi dengan tatami (bantal kecil tipis untuk alas duduk.red), Aiko pun merebahkan tubuhnya di atas permadani itu. Ia belum menyadari satu keajaiban kecil yang aku miliki sampai Ia menengadahkan wajahnya menatap langit-langit kamar. Di atas pintu kamar ada beranda kecil (mezzanine.red) yang memiliki jendela kecil dan tangga tunggal menuju ke atap.
Sebenarnya tempat ini dulunya adalah loteng dan sempat menjadi perpustakaan asrama. Tapi karena jumlah siswa yang terus bertambah, akhirnya aku difungsikan sebagai kamar asrama.
“Jadi ini
sebabnya atap kamar ini berbentuk kerucut. Wah.. “ ucap Aiko kagum.
Aiko langsung menaiki tangga yang menuju ke langit-langit atap. Saat
membuka kaca yang membatasinya, betapa takjubnya ia melihat hamparan awan dan
kotak bangunan di bawahnya. Angin semilir menyibakkan rambutnya yang hitam
panjang sebahu. Katanya,
“Aku seperti berada di puncak dunia, woouw…!!!!”
-HT-
“Hrrgh.. lelah sekali! Seharusnya
aku pesan kamar dari awal. Dengan begitu aku tak perlu berkeringat seperti
ini,” keluhnya saat memutar kunci kamar dan membanting pintuku. Awas kau ya!
Koper beserta tas ransel yang
dibawanya dilemparkannya ke lantai dan ia lantas merebahkan tubuhnya di atas
kasur single di bawah tangga. Dan ia
pun tertidur lelap.
-HT-
Baru kulihat sekali ini seseorang
melihat setiap pintu tapi tak pernah memutar kunci pintunya.
“Aduh..
di mana ya? Kok nggak ketemu-ketemu. Kamar 803. Dimana ya?”
Orang ini pun sudah melewatiku
empat kali. Mungkin pikirnya ada lantai lain setelah lantaiku. Firasatku benar,
setalah berputar-putar kurang lebih tujuh kali. Ia menyerah. Kulihat ia duduk
di pintu seberangku sambil mendekap erat sesuatu yang terlihat seperti boneka.
Dasar anak aneh!
-HT-
“Kamar
308” kata Kepala asrama sambil menyerahkan sebuah kunci pada siswa baru berkacamata
dan berpenampilan sempurna di hadapannya.
Siswa itu pun
berkata,”308 sebelah mana?” tanyanya sambil bersiap mengangkat koper.
Kepala asrama
melihat dari balik kacamata bulatnya, “kalau kau beruntung, setelah menaiki
tangga itu kau akan bertemu siswa lainnya yang punya kunci sama denganmu,”
jawabnya cepat dan kembali sibuk dengan sesuatu.
“Arigatou gozaimasu!” jawab gadis
berkacamata itu seraya menyandingkan tas berlengan satu di pundaknya.
Sementara itu di anak tangga lain tak jauh darinya, ada seorang siswa sedang menaiki tangga dengan santai tanpa terbebani dengan satu ransel besar mirip tas carrier untuk naik gunung yang menempel di punggung. Tangga menuju ke lantai atas dibangun seperti berputar mirip menara di bangunan kastil tua. Sesekali ia menekan tombol shutter di kameranya untuk mengambil gambar. Dan tiba-tiba, ia mengambil tempat di salah satu anak tangga dan duduk di sana.
“Hmm..
interiornya memang menarik. Tapi merepotkan! seandainya tangga-tangga ini dapat
bergerak layaknya eskalator swalayan. Krreeshh..” ucapnya sambil memasukkan
segenggam keripik kentang ke mulutnya.
“Ide yang
bagus,”jawab seseorang. Penikmat keripik kentang kaget dan mencari asal suara
itu, mengira hanya imajinasinya ketika ada suara lainnya,
“Kamar 308
juga?”kata suara itu lagi. Orang di tangga itu mengangguk pelan dan lekas
berdiri sambil mengulurkan tangannya,“Aku Nishi Heike, senang
berkenalan!”ucapnya penuh senyum bersahabat.
Gadis berkacamata itu membalas senyumannya dan menyambut jabat hangat perkenalan Nishi dan mengenalkan diri sebagai Hana Sanjo.
“Hai
Hana chan, kamu telat juga ya?” Tanya Nishi. Kakinya terus menaiki anak tangga.
Hana agak
kesulitan membawa kopernya. Benar juga pemikiran anak itu, seandainya ada eskalator,
pastinya, kujamin banyak orang yang menjadi temanku.
“Hari
sudah senja. Jauh-jauh dari desa tak kusangka kendaraan di sini banyak yang
terlambat dari jadwal,” ucap Hana sambil terengah-engah.
“Mau
keripik?” tawar Nishi. Ia pun segera menyambar koper dari tangan Hana dan
membawa koper itu dengan mudahnya, “kamu bawakan keripik-ku ya!”ucapnya lagi.
“Arigatou!
daijoobu desu ka?”
“Sudah
hampir sampai,” sambung Nishi.
-HT-
Horizon di ufuk
barat hampir tenggelam. Aiko pun bergegas menuruni tangga untuk menyalakan
lampu ruangan. Meski cahaya bulan cukup terang malam ini, tapi tetap menakutkan
jika membiarkan ruangan gelap. Apalagi Aiko sendirian, pikirnya.
Saat akan menuruni tangga, ia melihat sesosok bayangan hitam di atas tempat tidur di bawah mezzanine. Ditambah lagi ia tidak mendengar ada seseorang masuk.
“Jangan-jangan
ada pencuri,” batin Aiko,”Pencuri di kamar asrama? lucu juga,” khayalnya.
Ketika lampu kamar dinyalakan, Aiko sangat terkejut mendapati sosok hitam itu adalah seorang gadis yang kira-kira seusia dengannya.
“Mungkin
dia teman sekamarku! Kukira aku akan tetap menjadi true loner[1],
yei!” ucapnya pelan sambil berjingkrak-jingkrak. Tanpa ingin membuat teman
barunya terbangun, Aiko membereskan ruangan setenang mungkin.
Di luar pintu kamar, Nishi dan Hana hampir mencapai pintuku.
“Nishi,
kamu lihat itu tidak?”
“Lihat
apa?” Tanya Nishi balik. Lorong asrama ini memang lumayan gelap meskipun ada
lampu tempel kecil di sepanjang koridor.
“Kukira
itu seperti seseorang? ya tidak?”ucap Hana.
“Biar
kulihat,”Nishi mendekatinya. Dan dari sana, orang itu bergerak seperti panik
sambil melihat ke kiri dan kanan mencari arah, meraba-raba.
Nishi
pun terdiam dan memasang kuda-kudanya,“Siapa?! tunjukkan diri kalau
berani!”tantangnya.
Yang diajak bicara semakin celingukan. Nyawanya belum semua terkumpul, hehe..
Tiba-tiba
seberkas cahaya putih terang menyilaukan mata mengagetkan Nishi, Hana, dan
orang aneh itu, terlebih lagi Aiko yang langsung tersentak saat melihat
orang-orang di depannya.
“Uups..
Maaf, kalian siapa ya? tersesat?” Tanya Aiko sambil menenteng teko air besar di
tangan kanannya. Maksud hati sih ingin mengambil air di kamar mandi bawah
karena air di kamarku belum dinyalakan.
Orang
yang kini nyawanya sudah terkumpul 100% itu cepat menjawab lantang, “Kalau yang
kau maksud tersesat, aku TERSESAT!” teriaknya,”Yumiko Shimizudani, murid baru
tahun ajaran ini. Mohon bantuannya!” ia
membungkukkan badannya dengan cepat dan dalam.
“A-Aiko
Konoe,” jawab Aiko terkejut.
Hana
lantas menyela dan menunjukkan kunci di tangannya,”308?”
“em!”
jawab Aiko.
Hana langsung masuk membawa kopernya dan Nishi segera menyusulnya setelah sebelumnya mengulurkan tangan pada Yumiko dan ikut mengajaknya masuk.
Aiko
tampak sangat bingung, “e-em.. begini, aku mengambil air dulu. Kalian masuk,,”
ucapnya. Sebelum selesai berkata, tiga orang asing itu sudah masuk duluan,”ya,
terserah kalian saja, hehe..” kakinya lalu membawanya pergi menuruni tangga ke
lantai bawah.
-HT-
Selesai mengambil
seteko air dan meminta agar aliran air di kamarnya dinyalakan, Aiko bermaksud
kembali ke kamar 308. Aula asrama ini sungguh besar. Aiko menyempatkan diri
bersantai sejenak di bangku aula seperti menunggu sesuatu yang sebenarnya tidak
ada yang ditunggunya.
“Kamu Aiko Konoe, kamar 308?” Tanya Kepala asrama dari meja front office yang elegan.
“Ya,
Saya,” jawab Aiko.
“Air
dikamarmu sudah menyala?”Tanya Kepala asrama lagi. Sebelum sempat Aiko
menganggukkan kepalanya, Kepala asrama melanjutkan,”kurasa semestinya sudah,”
“Kulihat teman-teman sekamarmu sangat menyenangkan. Kamu senang dengan
kamarnya?”
“Sangaat!
Apa ibu tahu di atas kamar itu ada lotengnya?”
“Tentu
aku tahu. Bukan tanpa alasan aku memberimu kunci kamar itu. Oh ya, ada seorang
lagi yang belum datang. Dia datang lebih awal darimu. Mungkin sebentar lagi
kalian akan bertemu,” jelas Ibu Kepala asrama.
“Siapa?”
Beliau
tersenyum dan berkata,”kau pasti akan senang. Kamarmu tidak akan terasa
hambar,” ucapnya sambil berlalu ke arah pantry
untuk menyeduh teh.
Beberapa menit kemudian dari arah halaman asrama, seseorang datang dan terlihat kerepotan membawa barang bawaannya. Tangan kanannya menenteng tas belanjaan besar, tangan kirinya menjepit sebuah kantung kertas belanja yang tak kalah besar dan wajahnya tertutup kantung lainnya yang juga sangat besar.
“Marram
Bu kweparra,” suaranya terdengar samar.
Ibu
Kepala asrama lantas mengerling pada Aiko. Seakan mengerti, Aiko menghampiri
orang itu dan menawarkan tangannya yang tidak sedang menjinjing teko penuh air
untuk membawakan barang bawaan.
-HT-
“Mm.. habis belanja?” Tanya Aiko sambil meraba-raba kantong roknya untuk mengambil kunci kamar. Orang kerepotan itu melihat sekilas padanya dan menjawab,”untuk persediaan. Hai, aku Sakurako Nakamura,” kenalnya. Kini bungkusan di mulutnya sudah dipindahkan ke salah satu tangannya.
Mereka telah tiba di depan pintu kamarku.
Ketika kunci diputar, cahaya lampu di dalam menyinari lorong asrama yang
remang-remang.
Ruangan
kamar yang tadinya begitu sepi, tiba-tiba saja menjadi begitu ramai. Di tengah
ruangan, Nishi dan Hana sedang duduk santai sambil menyeruput teh dari gelas di
hadapannya. Yumiko yang tersesat, terlihat sedang mengingat kalau-kalau kamar
yang dicarinya pernah dilewatinya. Terlihat dari tingkahnya mondar-mandir
kesana-kemari. Sampai pusing aku melihatnya. Aiko meletakkan teko penuh air di
atas kitchen set di samping pintu
masuk disusul Sakurako yang melepaskan bawaan belanjaannya di sana.
Meski sekarang di kamarku ada banyak orang tapi suasananya sangat aneh dan canggung. Hrrgh.. tidak bisakah kalian salig mengobrol? gerutuku.
“Hei,
aku akan membuatkan sesuatu untuk kalian. Kau tahu, makanan adalah bahasa
universal,”ucap Sakurako. Tangannya terampil sekali mengolah bahan-bahan
makanan itu.
“Bisakah
Aiko membantu?” Tanya Aiko malu-malu.
“Tentu!”
jawab Sakurako secepat mungkin,”jadi kau Aiko. Nama yang indah. Apa Ai diambil
dari Ai kanji bahasa mandarin yang artinya cinta?”
“Ehh?”
Aiko terdiam beberapa saat, “kurasa,” katanya lagi.
Aroma lezat dari masakan memenuhi ruangan ini. Saat Aiko akan merapikan meja di tengah ruangan, dilihatnya sosok gadis yang tadi tertidur, mengulurkan kedua tangannya menawarkan bantuan membawa hidangan yang lezat itu.
“Sini,
biar kubantu. Eh, ngomong-ngomong, kamu orang yang tadi menyalakan lampu ya?
selidik gadis itu.
“Apa
tadi mengganggumu? maaf ya!” ucap Aiko.
“Tidak.
Eh, yang itu taruh di sini saja,” tunjuk si gadis,”salam kenal, aku Kuniko
Saionji,”
Nishi dan Hana yang sedari tadi sudah duduk di sana, tersenyum kecil mendengar nama Kuniko. Tanpa pembicaraan, Nishi dibantu Hana menyiapkan peralatan makan malam. Dua orang ini aneh sekali. Bekerja tanpa berbicara. Teman yang aneh.
“Hidangan
selesai,” ucap Sakurako. Kakinya bersimpuh mengambil mengambil tempat di atas
sebuah tatami di dekatnya.
Semuanya sudah berkumpul. Tapi rasanya ada
yang kurang.
“Hei,
mau sampai kapan mondar-mandir,” ucap Nishi sekenanya.
Yang
diajak bicara berdiri terdiam dari mondar-mandirnya. Matanya melirik hidangan
lezat di meja, “Boleh?”
“Tentu
saja, ayo makan sama-sama!” ajak Aiko. Ia menarik lengan Yumiko untuk duduk di
sampingnya.
“Itadakimasu!”seru Aiko pada semuanya.
Kurasa dia terlalu bersemangat.
Di sela-sela acara makan malam itu, suasananya mulai menghangat. Si koki hebat juga. Memang, makanan adalah bahasa universal. Di meja ku ada satu, dua, wah ada enam orang! Kebetulan sekali.
“Jadi
kamu tersesat?” Tanya Aiko.
“Ya
begitulah. Daritadi aku berkeliling naik turun tangga mencari kamarku. Hiks..,
nyam..” jelasnya sambil melahap hidangan.
“Wah
hebat betul kamu. Aku saja sudah kelelahan amat sangat menaiki empat lantai
ini. Menyesal aku datang telat,” papar Kuniko.
“Oh,
jadi karena itu kami tadi tertidur lelap sekali,” ingat Aiko.
“Memangnya
kamar berapa yang kamu cari?” Tanya Hana. Akhirnya aku mendengarnya berbicara.
“Entahlah.
Mmm… aku kok jadi lupa ya? hehe..”
“Ah,
lezatnya. Aku sudah selesai!” ucap Sakurako.
“Wah
cepat sekali,” sahut Aiko terpesona,”nama kamu siapa?” Tanya Aiko pada orang
tersesat itu.
“Aku
Yumiko Shimizudani, yoroshiku
onegaishimasu!” ucapnya pada semua orang.
Nishi
meletakkan sumpitnya di atas mangkok, “aku Nishi Heike, terimakasih
makanannya!”
Hana
pun meletakkan sumpitnya,”Aku Hana Sanjo. Kamu pintar memasak. Lain kali
kubantu ya!”
“Aku
Sakurako Nakamura, terimakasih pujiannya,”ucap Sakurako.
“Dengan
aku, Aiko Konoe, semuanya pas 6 orang! kalian tahu, tempat tidur di kamar ini
juga berjumlah enam orang. Wah, kebetulan sekali,”Aiko menangkupkan kedua
tangannya.
“Mm..
mungkin Cuma lima. Kalian tahu, bukan ini kamar yang kucari,”sela Yumiko. Ia
kelihatannya sedih sekali.
Selesai makan, semuanya bergantian mencuci piring dan membereskan meja. Koper dan ransel dibiarkan tergeletak. Mungkin mereka kelelahan, kecuali satu. Hana sudah rapi menata pakaian dan barang-barang di dalam lemari pilihannya. Hana mengambil tempat tidur bertingkat dan memilih tingkat atas.
“Hana
chan, kamu di atas? boleh aku di tingkat bawah?” Tanya Nishi.
“Boleh
saja!” ucap Hana.
Sakurako lebih senang tidur di bagian bawah tempat tidur bertingkat satunya. Katanya sih lebih praktis untuk bersiap menyiapkan makanan. Lain halnya dengan Kuniko yang memilih tempat tidur single di bawah mezzanine tempat ia tadi tertidur lelap. Aiko masih menikmati teh dan membaca buku novel ditangannya ketika tiba-tiba saja, Yumiko memanggul tas ranselnya dan bersiap memakai sepatu.
“Yumiko, kau mau kemana?” Tanya Aiko heran.
“Mm..
mencari kamar kurasa,”ucap Yumiko pelan.
“Tinggallah
di sini, sudah malam. Sulit mencarinya di waktu gelap,” sambung Aiko.
Yumiko
sudah akan membuka pintu dan membalikkan badannya sambil membungkuk,”minna san, arigatou! kurasa tempatku
bukan di sini,”ucap Yumiko ragu. Suaranya terdengar bergetar.
Hei,
diam-diam aku juga berharap Yumiko tinggal di kamarku..
“Kata
siapa?!”potong seseorang,”tempat tidurnya masih tersisa satu. Ruangan kamar ini
pun cukup luas,”ternyata ini suara Nishi.
“Iya,
kalau boleh memilih pun, aku tidak ingin kamar yang ini, merepotkan,”sambung
Kuniko dari balik selimutnya. Hrrgh.. anak ini! awas ya!
Sakurako
pun terduduk di atas tempat tidurnya,”akan kubuatkan makanan lezat kalau kau
mau tinggal,”tawarnya.
“Tapi..”
ucap Yumiko.
“Hei,
cepat tidur. Aku lelah..”lontar Hana.
“Jadi,
tinggal ya!” ucap Aiko sambil mengambil tas di tangan Yumiko.
“Terimakasih
semuanya!”ucap Yumiko haru. Dia senang sekali bisa tinggal, walau hanya
semalam, pikirnya.
“Selamat
malam!” ucap Aiko.
“Selamat
tidur!” balas yang lain.
Lampu kamarku telah dimatikan. Yumiko yang awalnya bermaksud pergi, kini tertidur pulas di tempat tidur tingkat bagian atas berbagi dengan Sakurako di tingkat bawahnya. Saat akan menutup gordyn di beranda kamar, Aiko melihat sesuatu seperti kunci di genggaman tangan Yumiko. Cahaya bulan menerangi tulisannya.
“308?”
bisik Aiko. Tawa kecil menghiasi wajahnya,”dasar anak aneh!”batinnya.
Aiko pun menutup gordyn itu dan bergegas tidur setelah sebelumnya mengintip sebentar ke luar beranda. Bulan malam ini sangat indah, purnama penuh. Aku mendengarnya berbisik pelan,”terimakasih, Tuhan. Terimakasih, Bu Kepala Asrama. Kau benar, kamar ini sangat menyenangkan!”
-HT-
[1]
Aiko Konoe dulu dikenal sebagai anak yang suka menyendiri hingga tidak ada
seorang pun yang ingin berteman dengannya dan akhirnya dia menjuluki dirinya
sendiri sebagai true loner.