twitter



Akhir semester 7 lalu adalah saat yang paling melegakan sekaligus saat yang paling sedih.. saat untuk bisa menikmati tarikan napas panjang sebelum memulai sesuatu yang baru yang lebih berat di depan sana. Aku kembali menengok ke belakang lagi, kursi itu, papan tulis itu, ruangan kelas itu, itu adalah hari terakhir aku duduk di sini bersama mereka bersama-sama di dalam satu tempat yang sama sebelum nantinya kita akan bertemu di ujung jalan ini, gumamku dalam hati.

"Azalea!!!"
Akupun tersadar dari lamunanku, hei.. sekarang aku sedang berjalan bersama mereka di sini, di puncak!
"Sedang apa?" tanya seorang teman, " lihat deh gunungnya, yang begini gak ada di Jakarta, hehe" jawabku pada teman-teman lain yang sedang berjalan berusaha menyejajari langkah dengan kepayahan. Pagi itu, aku dan teman-teman memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar villa. katanya ada curug di atas sana. Daripada hanya menghabiskan waktu menonton tv dan mengobrol di dalam villa, kami sepakat untuk mendaki ke atas.
Sekali lagi menghirup napas dalam-dalam, barisan pegunungan di depan mata sungguh menakjubkan, berkali-kali kata "subhanallah.." mengalir begitu saja mengagumi keindahan sang Maha Pencipta.
Kebanyakan jalanan yang kami daki ini kemiringannya hampir 45 derajat, kadang membuat oleng juga. Tidak jarang baru beberapa meter berjalan, kami sudah beristirahat kembali karena napas yang terengah-engah. Teman yang masih kuat kembali berjalan dan memberi semangat pada yang lain..
"Tenang.. sebentar lagi sampai, hosh.. hosh.." kata seorang teman pada temannya. Tidak lama lagi kami berjalan lalu berhenti kembali. "Ayo semangat, suara curugnya udah kedengeran tuh..!" Seru yang lain. Membatin, jangankan suara curug, pintu masuknya saja belum kelihatan, hehe..
Dan begitu seterusnya, pertanyaan berganti jawaban, keluhan berganti kata-kata semangat. Sepanjang perjalanan menuju pintu masuk curug, semuanya saling berbagi perbekalan. 

Akhirnya kami tiba juga di satu tempat yang aku sebut sebagai pit stop pertama, ^_^ Itu adalah sebuah jalan yang datar yang di atas jalan yang mendaki. Ada batu besar di sana, padang ilalang, kumpulan rumput liar dan bunga liar yang tumbuh saling bersilangan, Bebatuan kerikil, dan di ujung sana ada sebuah saung kecil yang terbuat dari rangkaian bambu. Sang juru foto cekatan menjepret sana dan sini, tempat itu memang bagus dijadikan objek foto. Di dekat sana juga ada curug, tapi itu hanyalah anak curug bukan curug sebenarnya yang kami tuju. Aku tertegun saat melihat salah satu teman kami yang tadi mengatakan tidak ingin ikut karena merasa dirinya tidak akan sanggup sampai puncak, dia memang bertumbuh agak gempal. Tapi lihatlah, di saung, dia sedang duduk sambil kepayahan, keringatnya mengucur deras. Wah, kau hebat! seru teman yang lain bergantian.
Dengan begini tidak ada yang tertinggal kan.. ^_^

Pit stop kedua, setelah melewati jembatan kecil yang di bawahnya mengalir sungai kecil yang cukup deras, kami sampai di pintu masuk curug. Setiap orang dikenai biaya masuk. Aku sempat melihat sebuah banner plastik yang memuat foto curug yang akan kami tuju. Namanya adalah "curug kembar". Setelah kuhitung-hitung, total perjalanan dari villa sampai ke pintu masuk sekitar 1 jam 30 menit. Itu adalah jarak yang dibilang "dekat" oleh penduduk sekitar yang kami temui sepanjang perjalanan saat akan menanyakan arah ke curug kembar, ckck..

Dari sini perjalanan ke curug kembar akan di mulai. dari jalan berumput yang lapang dan besar menyempit menjadi jalan setapak. Petugas penjaga di sana hanya mengantar kami sampai di jalan setapak itu. 
hm.. Dari dulu dan kurasa sampai kapanpun aku akan tetap menyukai perjalanan mendaki gunung. Perjalanan ke curug kembar hari itu menyimpan banyak cerita. Sejatinya, bagiku, mendaki gunung bisa diibaratkan sebagai perjalanan hidup. Jalan menanjak yang menjauhkan, jalan menurun yang mendekatkan. Ini mungkin pengalamanku yang ke sekian kalinya menanjak hutan untuk melihat curug, dengan orang-orang yang berbeda yang selama ini menjadi teman seperjuangan selama 4 tahun. Bersama-sama Mencari jati diri, mencari janji kehidupan yang lebih baik. Di saat-saat seperti inilah, aku jadi dapat mengenal mereka satu per satu dengan lebih baik.

Mereka sesungguhnya asing bagiku, 4 tahun ini, ah.. rasanya cepat sekali. Saat menyebrangi aliran sungai deras dengan berpijak pada susunan batu kali yang diikat kawat, aku hampir terpeleset jatuh, padahal di sebelahku air yang jatuh ke bawah deras sekali bergulung-gulung. Tapi, uluran tangan itu selalu siap membantu. Lalu teriakan-teriakan penyemangat. Bahkan saat kau berteriak mengaduh kesakitan, selalu ada yang bersedia menghentikan langkahnya untuk kemudian menghampirimu dan menawarkan bantuan. 4 tahun kebersamaan.. Saling toleran. Banyak teriakan-teriakan putus asa saat langkah-langkah kaki mulai berat sedang tempat yang dituju belum juga kelihatan ujungnya.

Namun hal itu bukanlah penghalang. Saat kami tersesat, ada seorang yang kami percayakan untuk memandu. Maklum saja, di antara 25 orang yang pergi ke curug hari itu, tidak ada satupun yang mengerti medan pendakian, tidak ada satupun dari kami yang punya pengalaman sebagai pendaki gunung. Aku? yang dulu-dulu aku hanya mengikuti arahan dari pemimpin perjalanan. Dan jangan tanyakan seperti apa persiapan kami saat mendaki, ada yang pakai baju tidur, ada yang memakai rok (aku pelakunya, hehe), ada yang pakai sandal jepit, ada yang pakai sandal cantik, ada yang pakai celana selutut, ckck.. Perbekalan? kami hanya membawa minum beberapa botol. Kami benar-benar tersesat saat perjalanan pulang, jalan yang kami lalui saat berangkat tadi tiba-tiba saja hilang. Medan pendakian itu memang sangat berat. tidak ada penunjuk jalan seperti di curug tujuh yang pernah aku kunjungi. Hutan yang kami lalui juga sepertinya hutan yang perawan karena tidak ada tanda-tanda aktivitas manusia seperti sampah dan sebagainya. Hanya insting dan petunjuk seadanya yang diberikan oleh petugas penjaga tadi. Karena masih termasuk tempat yang baru dan sepi pengunjung, jalan setapak yang ada pun kurang jelas terlihat, jangan tanyakan padaku tentang hewan-hewan yang ada di sana. Tidak ada seorang pun dari kami yang luput dari gigitan pacet, lintah dan sebagainya. Bahkan beberapa ada yang digigit cukup parah. Aku sendiri terkena gigitan di sela jari, hikz.. rasanya perih sekali. Ditambah lagi saat itu kami tersesat. Yang bisa kuucap hanya doa yang tak putus dalam hati, semoga Allah menunjukkan jalan keluarnya, jalan kami untuk kembali. Beberapa dari kami terjatuh, dan memar di sana-sini. Anak laki-laki berusaha untuk menemukan jalan keluarnya, mencoba berbagai jalan yang ada, tak jarang yang kami temui adalah jalan buntu. Aku hanya berpikir, bagaimana jika kami tidak bisa menemukan jalan keluar? dengan alat komunikasi yang tidak berfungsi karena tidak ada sinyal telepon di sana. Bismillah.. aku menguatkan hati untuk berpikir positif. Akhirnya kami kembali ke jalan persimpangan semula. Titik awal kami mulai tersesat. Dan alhamdulillah, tiba-tiba saja kami melihat ada sebuah jalan di sana. Jalan yang mirip dengan keberangkatan tadi. Semua keraguan yang ada ditepis. Mencoba percaya pada teman kami yang memimpin di depan.

Perjalanan hari itu memang menuai banyak hikmah. Rasa saling pengertian, saling memberi semangat.
Ketika menemukan jalan untuk kembali, semuanya buncah oleh perasaan senang, dan tidak terkatakan lagi rasa syukur saat melihat jalanan landai berumput yang kami lalui di awal tadi. Tidak pernah ada perasaan sebahagia ini ketika melihat jalanan berumput, hehe..
Teman yang bertugas mengambil foto memasang tripod dengan cermat dibantu yang lain. Sementara aku dan teman-teman mengatur posisi di depan lensa kamera. 50 foto diabadikan di sana, hatiku dipenuhi perasaan syukur dan haru. Melihat mereka, Memang ada kalanya ada yang merasa letih untuk melanjutkan. Memang untuk beberapa hal kita harus menghentikan langkah. Tapi itulah indahnya sebuah perjalanan. Dan itulah indahnya pertemanan. Selalu ada tempat untuk seorang teman. Selalu. Dan akan selalu ada di sana. Dia adalah teman.  

Di bawah langit malam, berteman suara riuh rendah dari teman-teman yang sedang menerbangkan lampion asa ke udara, aku berbisik padaNya. Semoga Kau akan mengumpulkan kami lagi di tempat yang sama, duduk bersama, di bawah satu atap yang sama. Dengan senyum bahagia mengenakan pakaian toga. Sampai saat itu tiba, aku ingin mengatakan pada kalian, Bersemangatlah! 
Terimakasih untuk semuanya. Terimakasih sudah membagi kebersamaan ini selama 4 tahun. Terimakasih untuk semua senyuman, tawa, tangis, kecewa, haru, bangga, dan terimakasih Maaf untuk semua keliru yang pernah ada.. Aku bersyukur bisa menjadi bagian dari keluarga besar ini. Kalian semua istimewa. 

220113.S1AKR9.^_^
 @Bundo, Dini, Indah, Duwi, fajri, Putri, Ary, Oka, Apri, Maria, Ahada, Ami, faisal, Apim, Ginanjar, Nesa, Adzima, Dwi, Esa, Gaby, Hafidz, Handry, Intan, Marsha, Ratih, Safirta, Steffi, Syuaif, Veni, Winny, Tika, Kahfi, Icha, Idris, Arief.



Mozaik Kenangan


Setiap kisah punya awalan. Tapi bagiku, kisahku tak ada awalan, awalan itu sudah terskenario dengan rapi oleh sutradara langit yang tak pernah kuketahui apa maunya. Aku tak punya pilihan untuk memilih menjadi pemeran apa atau bagaimana dialogku nanti. Yang ku tahu hanya menjalankan skenario yang sudah ada. Prolog, akhiran, dan epilog. Kali ini, setting cerita nya adalah sebuah tempat kecil di pojok gedung L bernama “Iqtishodi”. Dengan berat hati, lagi, harus kutinggalkan tempat yang membuatku nyaman. Lucu juga, tempat itu yang dulu aku sangat benci. Tapi entah kenapa kini sulit untuk kulepaskan. Apakah hal yang sama akan terjadi juga pada ceritaku kali ini? jawabanku, entahlah. Aku hanya ingin membiarkan ini seperti air yang mengalir.

Pertama datang, dialog pertama hanyalah jawaban “Hai!” sekuat tenaga aku berusaha menjelaskan siapa aku? darimana aku datang? apa peranku di sini?. Ya, hal-hal seperti itulah yang bisa membuatku memulai pembicaraan dengan orang lain di tempat asing ini. Hm.. sebenarnya Bukan tempat yang terlalu asing juga, pernah ada jodoh antara aku dan tempat ini untuk beberapa episode dalam scene ku bersama Mr. A. Sebut saja begitu. Mr. A untuk tempat ku dulu, dan MR. I untuk tempatku yang sekarang. Untuk selanjutnya kita setuju memakai penyebutan itu saja ya.

Sebagai pemeran pendukung, aku ingin sekali bisa membuat sesuatu. Lebih tepatnya, aku ingin membuat keberadaanku disana memiliki arti bagi seseorang. Ya, setidaknya seseorang. Itu sudah cukup bagiku. Tak pernah berani bermimpi untuk semuanya karena aku tahu itu mustahil dan sangat berat. Sehingga ketika suatu saat aku harus pergi lagi dan memulai cerita yang baru, ada seseorang yang mengingat bahwa aku pernah ada di sana. Dan agar lebih mudah untuk melepaskannya bila aku sudah terlalu nyaman bersamanya.
Kalau kau tanya bagaimana tempat itu, tempat yang hangat kukira. Semua orang yang masuk ke tempat ini, semuanya tersenyum tak lupa jabat tangan hangat dan pelukan penyemangat dengan lantunan doa-doa terindah yang diucapkan oleh saudara. Dan pun dibalas dengan indah pula, wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.  Selalu begitu, dari dulu, hingga sekarang dan sampai kapanpun. Itu adalah warna pelangi pertama yang kudapat di sini. Bukankah pelangi memiliki tujuh warna? akan kukisahkan padamu pelangi milikku untuk Mr. I.

Detik berganti menit, menit berganti jam, jam berganti hari, Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, waktu selalu berjalan setia seperti itu. Tak pernah terlewat sedikit pun, selalu presisi. Di bulan kedua aku berperan di sana, kurasakan ukhuwah di antara mereka begitu erat. Hingga mau tidak mau aku juga ikut merasakannya. Syuro pertama dengan BPH Kadeptbir, di rumah salah satu kabir BM, menyenangkan sekali. Semuanya berkumpul, saling mengenal satu sama lain. Apa yang di suka, bagaimana karakternya, sampai nomor sepatu, ckck.. apakah ada yang akan memberikan hadiah sepatu untuk salah satu dari kami? Gurauan pemecah kekakuan terlontar silih berganti, ya, sambil membicarakan rencana program kerja ke depan dan musyawarah kerja, saat di mana kami akan menerima pemain-pemain baru yang akan bergabung bersama “keluarga”. Kata yang hangat bukan? “keluarga” sebuah brand yang menyatukan hati-hati kami. Selaiknya keluarga, kami turut berjanji akan bekerjasama dan membimbing adik-adik kami menjadi seseorang yang istimewa.

Bulan ketiga, kulihat wajah-wajah penuh harapan. Mereka generasi baru, yang akan bergabung berjuang di sini bersama pemain lainnya dalam “keluarga”. Kudengar ambisi dan mimpi-mimpi yang ingin mereka ukir di tempat ini. Aku pun ikut tersentak. Mimpi seperti apa yang kupunya untukmu, MR.I? Aku bahkan belum memikirkannya, yang kutahu hanya menyelesaikan skenario yang dipersiapkan untukku. Dan sejak hari itu, aku mulai mencari dan merangkai mimpi. Meski kurasakan sedikit rasa takut, tapi aku tahu “keluarga” tidak akan pergi meninggalkanmu kan?

Semburat warna pelangi kedua. Seorang kakak akan selalu melakukan yang terbaik untuk adik-adiknya. Seorang kakak pantang terlihat lemah di hadapan adiknya. Seorang kakak ingin selalu terlihat kuat di depan adik kesayangannya. Itulah yang kurasakan, saat program kerja akbar pertama kami terselenggara. Jabat tangan hangat penyemangat. Keluhan tertahan yang berubah menjadi senyuman tersembunyi di balik wajah-wajah lelah itu. Semua orang mengerjakan posnya masing-masing, saling bertanya apakah kamu butuh bantuanku? apakah ada yang bisa dibantu? mana yang belum selesai? Tidak ada pemain senior dan junior di sini. Tidak ada tempat untuk itu. Yang ada hanyalah kebersamaan.  Akupun mendapatkan pengalaman yang berharga di sini. Seorang adik datang menghampiriku. Tanpa rasa sungkan, mengalirlah cerita-cerita darinya tentang perjuangannya untuk mempertahankan tempatnya di Mr. I. Akupun terdiam. Dia begitu berkeras meluangkan waktu di sini, sementara aku justru ingin cepat pergi. Saat itu hatiku tersentuh, kesempatan menjalani peran semacam ini kutahu tak kan datang dua kali. Sekali lagi aku mendapat warna pelangi di sini. Perasaan dipercaya dan mempercayai. Alhamdulillah acara berjalan dengan lancar dan sukses. Lagi, senyuman lega, pelukan hangat dari orang-orang di sekitarmu. Tapi sayang, sekarang adik itu sudah tidak lagi bersama kami. Walau begitu, aku dapat mengerti perasaannya. Dan untuknya aku akan menggunakan waktuku yang masih tersisa di sini untuk berbuat yang terbaik, setidaknya menggantikanmu, adikku.

Setiap berkumpul dengan orang-orang hebat itu, para BPHkadeptbir, perasaanku selalu meluap-luap. Senang bisa bersama dengan mereka. 9 orang yang mengemban tugas yang mungkin jauh lebih berat dariku. Tidak ada yang karakternya sama, semua punya keunikannya masing-masing. Ada yang bertipe koleris dan keras kepala, ada yang cinta damai, ada yang sanguinis dan selalu menghadirkan tawa dan gurau, ada yang seperti air mengalir, ada yang berperangai lembut dan menyukai hobi yang tidak biasa, ada yang senang bercerita, ada calon hafiz, ada yang berjiwa pemimpin, ada juga yang memiliki segudang ide, kalau aku? aku tidak berani mendeskripsikan diriku di antara mereka, mereka sangat istimewa. Setidaknya momen-momen seperti ini, yang membuat diriku kadang tersenyum sendiri ketika merasakan penat dan kesendirian yang seketika datang menyergap saat aku merindukan Mr. A. Warna pelangi ketiga yang kudapat di sini.

Kebersamaan itu lebih banyak dibangun dari seringnya “keluarga” bersama, mengunjungi satu tempat. Sampai-sampai ada julukan yang begitu melekat pada kabinet tahun ini. Yaitu kabinet jalan-jalan, J. Dari kesemua perjalanan aku hanya sempat mencicipi beberapa. Lagi, aku kembali harus memilih. Kejadian sama berulang tapi dengan setting cerita dan waktu yang berbeda. Di masa itu yang harus kupilih adalah pilihan yang teramat sulit. Dulu pernah ada waktu ketika aku menjadi bagian dari cerita Mr. K (Mr.K adalah sebutanku untuk sebuah tempat yang berukuran hampir sama dengan Mr.A yang letaknya berhadapan dengan Mr. I). Mungkin lain kali akan kukisahkan. Untuk yang sekarang, bukan pilihan yang sulit sebenarnya waktu itu, saat rasa sayangku pada Mr. I belum terlalu besar. Dengan mudah aku memilih menghabiskan waktu bersama teman-teman dari skenarioku sebelumnya di Mr. A. Sampai sekarang aku tidak pernah menyesali pilihanku saat itu. Namun, saat melepas kepergian “keluarga” ke kota kembang, rasanya ada ruang kosong yang menelusup ke dalam hati ketika melihat deru bus kampus membawa mereka pergi. Napas tertahan kuhembuskan perlahan, hati-hati di jalan, doaku dalam hati. Pun ketika tiba-tiba saja, banyak sms masuk yang berebutan mencuri perhatianku untuk membacanya. Kebanyakan dari mereka adalah nomor-nomor yang tidak kukenal. Selidik punya selidik ternyata itu adalah “keluarga” yang menghiburku dan mengatakan bahwa kehadiranku memberi arti di antara mereka dan mereka berharap saat itu aku ada di tengah-tengah mereka. Desh… hatiku mencelos. Rasanya belum pernah aku mendapat perhatian seperti ini. Sesaat konsentrasiku buyar, sepersekian detik kemudian aku berharap hari itu aku bisa bersama dengan mereka, mengenal “keluarga” dengan lebih dekat. Karena sesedih apapun, selama ada orang yang kau sayangi, maka semua sedih itu akan seperti buih di lautan, hilang ditelan udara seperti uap air. Langit malam hari itu benar-benar istimewa. Dan Perhatian itu, Warna pelangi keempat yang diberikan Mr. I untukku.

Sceneku di sini memasuki bulan keempat. Scene itu adalah scene di mana BPHkadeptbir “keluarga” harus berpisah sementara dengan kebersamaan yang ditawarkan oleh Mr. I. Berat sebenarnya melepas mereka pergi selama satu hingga dua bulan. Meski berbagai konsolidasi telah digelar, tapi tetap ada rasa getir juga membayangkan tinggal aku sendiri yang menyandang gelar angkatan senior dengan adik-adik yang masih memiliki banyak tanggung jawab yang harus diselesaikan. Saat itu aku menghadapi gejolak yang luarbiasa. Aku tahu mereka yang pergi tidak akan sepenuhnya meninggalkan Mr. I, tapi mereka juga tidak akan sepenuhnya berada di waktu-waktu yang genting, bukan. Di sana aku. Kemandirian itu memang latihan yang butuh ketulusan dan kemauan juga pengertian yang tidak habis-habis.

Warna pelangi kelima. Di antara sekian banyak peran, aku lebih memilih menjadi kru belakang layar. Agar tidak terlalu terlihat, tapi setidaknya aku bisa melakukan sesuatu untuk mereka. Itu yang kupikir sejak awal bahkan sampai saat ini. Meskipun keputusanku itu kadang menimbulkan sakit yang lukanya tidak kunjung sembuh hingga sekarang. Dari kesempatan ini, aku mulai mengenal pejuang-pejuang kecil dengan banyak mimpi itu lebih dekat. Sifat mereka, keunikan mereka, apa yang mereka suka. Kalau tidak ada masa seperti ini, mungkin selamanya aku tidak akan pernah tahu seperti apa mereka. Beberapa ada yang ku kenal amat dekat. bahkan kami saling bertukar cerita. Saling memberi semangat dan saran. Ada kalanya, juga sering berkirim pesan yang tidak perlu tujuan dan tema atau pertanyaan. Karena yang dibutuhkan hanyalah hati untuk mengerti. Mungkin ini adalah berkah yang Allah kirimkan untukku, tentang keberadaanku di sana. Menjadi seseorang yang dibutuhkan oleh orang lain adalah sangat berharga. Pun menjadi seseorang yang keberadaannya tidak bisa digantikan oleh apapun juga sangat berharga. Aku mulai menginginkan lebih. Tapi seperti permintaanku di awal, sebenarnya begini saja sudah cukup.

Skenario dari sutradara langit sudah hampir selesai. Memasuki scene-scene terakhir. Entahlah, samar-samar aku mengingatnya. Mungkin karena dialog-dialog itu terlalu indah atau mungkin terlalu menyakitkan. Hari-hari penantian berakhirnya masa bakti tugas, aku lebih banyak ditemani dengan kesendirian Mr. I. Mencoba mengumpulkan serpih-serpih. Ah ya, aku ingat, bulan Desember itu. Setelah kejadian yang sama berulang (Kau pasti tahu alasannya, ya, karena Mr.A) ketika aku tidak bisa bersama bepergian dengan “keluarga” ke kota kembang untuk kedua kalinya, sekarang aku berkesempatan untuk bisa merasakan kebersamaan itu yang mungkin aku sudah tertinggal jauh. Tapi tak bisa berharap banyak, karena tidak semua kru “keluarga” bergabung bersamaku di acara kali ini. Sedih. Tapi bulan Desember selalu istimewa. Setidaknya bagiku, melewatkan waktu kelahiranku bersama “keluarga” adalah hal yang membahagiakan. Sebuah kado kecil yang tidak akan kulupa, tidak peduli apakah mereka mengingat hari itu, tapi aku akan selalu mengingatnya. Di dalam bus bersama mereka, berbagi cerita, melalui barisan pepohonan dan pegunungan serta udara malam yang berasap. Desember itu, berhasil melukis pelangi ke enam bersama Mr. I.

Tibalah saatnya aku harus mengisahkan padamu tentang guratan warna pelangi terakhir. Guratan itu, aku tidak pernah tahu dari apa ia terbentuk. Seperti hati yang tidak ada yang tahu seperti apa isinya. Airmata yang jatuh karenamu, senyuman yang ada karenamu, amarah yang meluap juga karenamu, dan rasa bahagia yang kau hadirkan untukku. Cerita ini, dialog-dialog kebersamaan kita, aku tidak pernah bisa mengingat semuanya dengan jelas lagi, Tapi aku berjanji akan mengenggam hal yang penting tentangmu. Tentang pelangi ini. Meski di akhir, luka itu harus merekah kembali, meski akhirnya aku harus meneteskan airmata karenamu lagi, tapi terimakasih untuk sebentuk pelangi ini. Dan aku juga tidak akan pernah menyalahkan sang sutradara langit yang telah membuatku bisa berjalan bersama denganmu di sepanjang jalan ini sebelum akhirnya aku tiba di persimpangan jalan lainnya. Karena semua yang terjadi adalah istimewa. Warna pelangi terakhir, aku tidak tahu seperti apa. Apakah aku sudah melukisnya? atau mungkin selamanya aku tidak akan pernah tahu.

Simpang jalan sudah di depan mata, selamat tinggal Mr. I. Aku akan pergi menjemput peranku yang lain yang sudah menunggu. Seperti sebelumnya, aku tidak pernah tahu skenario macam apa dan cerita seperti apa yang harus kujalani. Tapi dalam setiap awal persimpangan ini, aku selalu berdo’a. Semoga, semoga aku juga bisa melukis pelangi di sana. Sama seperti ketika aku melukis pelangi bersamamu. Yang awalnya asing akan tetap asing. Dan akan berakhir dengan asing pula.

Sebentuk Pelangi Untuk Iqtishodi “Keluarga” dan kau menjawabnya “Karena Kita Bersaudara”.