twitter


Memiliki kenangan adalah hal yang berharga, tapi tidak jika kenangan itu menjadi bayang dalam kehidupan. Hidup dalam kenangan, menyenangkan tapi itu bukanlah hidup, ia hanya semu.

Merindukannya seperti napas yang kau hirup setiap hari. Tanpanya detik yang berputar tak mampu untuk dilewati, memikirkan hidup tanpanya sedetik saja sudah membuat seluruh tubuh mati rasa. Aku terjebak. Tak dapat kembali juga tak dapat melangkah.

Tersenyum, tapi hanya sendiri. Karena ia mungkin tidak mengingatnya, hanya diri ini yang menggenggam kenangan itu. Segala hal yang mengingatkanku tentangnya tak bisa kulepaskan.  Kumpulan gambar yang terbeku dalam pigura usang di sudut meja. Senyuman itu, tawa itu. Aku rindu. Aku mulai gila, mencari di setiap sudut serpihan-serpihan yang bisa mengingatkanku tentangnya. Karena bayang yang ada semakin memudar. Aku mulai melupakannya. Dan itu terasa sakit. Di sini terasa hampa bila ia tidak ada. Kenangan tentangnya. Mungkin aku memang sudah benar-benar gila.


Mungkin saja, ia bahkan tidak mengingatku, tidak sama sekali. 


Aku rindu padamu. Kau yang ada di sana. Apa kabar? Kabarku tak pernah baik-baik saja tanpamu. 


Angin berhembus lembut. Pagi ini matahari tidak bersinar sempurna. Tapi aku tetap dapat menikmati hari dengan segelas coklat panas dan iringan musik lembut yang mengalun dalam earphone yang kugunakan. Mulai membayangi tentang semua hal. Yang sudah berlalu empat bulan ini. Pahit, manis. Tapi entah bagaimana, yang lebih banyak tersimpan adalah kenangan manis. Aku bersyukur tentang hal itu.

Bulan lalu aku bertemu dengan sahabat lama. Tidak sengaja berpapasan dengannya di jalan yang sering kulalui, dan mungkin juga jalan yang sering dilaluinya. Aku hanya sempat bertukar senyum lantas melangkah pergi, menatap ke langit yang kelabu seperti hari ini karena khawatir hujan deras akan segera turun. Jika bukan karena aku dan dia berbeda,mungkin aku sudah memberikan salam yang hangat padanya dan mengobrol ringan tentang segala hal yang terlewati saat tidak berjumpa. Tapi, senyuman saja sudah cukup.

Dan juga bulan yang lalu lagi, Wajah yang kukenal melemparkan senyumnya yang bersahabat. Kali itu, aku tidak sempat membalasnya karena langkah kakiku yang memburu waktu. Ada sedikit perasaan menyesal. Tapi aku tersenyum saat kami sudah saling berselisih jalan. Yang mungkin tidak akan disadarinya. Ingin rasanya menoleh ke belakang, tanpa alasan yang jelas. Namun ketika teringat dengan cerita kawan yang kukenal dan hal lucu yang menyertainya, kuurungkan niat tak jelas itu.

Dulu sekali, kawan yang kukenal juga mengalami pertemuan seperti ini. Bedanya saat sudah berselisih jalan, ia menyempatkan untuk menengok kembali ke belakang. Dan di saat yang bersamaan, orang yang tadi berpapasan dengannya juga menoleh ke belakang, dan tanpa disengaja mereka sudah saling bertatapan satu sama lain. Karena saling berbeda, kawanku cepat-cepat memutar pandang dan berjalan secepat yang ia bisa sambil menahan rasa malu yang sulit disembunyikan dari wajahnya yang merona merah. Dalam ceritaku, aku tak ingin pertemuan tak disengaja ini juga berakhir seperti ceritanya.

Bagaimana caranya aku selalu berpapasan dengannya di waktu yang selalu tidak tepat. Pertanyaan menggelitik berikutnya adalah, bagaimana hal aku selalu bertemu dengannya di waktu seperti ini. Semua pertanyaan tanpa jawaban itu terus berputar sepanjang kakiku melangkah ke tempat tujuan. Sebentar memasang wajah bingung, sebentar memasang wajah bahagia. Sebentar memasang wajah bersungut karena memikirkan hal tak penting, sebentar menatap langit kebiruan dan merasakan sesuatu berdesir, perasaan mencelos aneh seperti kau jatuh ke dalam jurang yang dalam.

Di suatu pagi yang tidak terlalu kuingat kapan, aku kembali berpapasan dengan sahabat lama. Yang bisa kuingat dari hari itu hanyalah perasaanku di pagi hari yang tidak terlalu baik. Tidak ada lagu, tidak ada harapan-harapan yang ingin kuwujudkan hari itu. Perasaaan menyebalkan seperti kau ingin cepat-cepat hari berakhir. Dan di saat hatiku sedang menggumamkan kekesalan pada dunia, tiba-tiba saja aku mendengar sebuah salam terucap. Spontan aku menghentikan langkah dan cepat-cepat menoleh ke belakang. Tapi kali ini aku tidak sempat bertemu sosoknya yang terlebih dulu menghilang di persimpangan jalan di belakangku. Sayang sekali. Aku tidak begitu yakin apakah ia orang yang sama, intuisiku mengatakan itu adalah dia, sahabat lama. Tapi, entah bagaimana, ada sebuah lagu yang mengalun indah dalam hati. Hari itu, laguku kembali berputar dan berharap hari yang indah tidak akan cepat berakhir.


Sayangnya, itu adalah hari terakhir aku menemukan sosoknya. Esok, dan lusa, juga hari setelahnya aku tidak pernah lagi bertemu dengannya. Anehnya ada perasaan sedih, meski hanya sedikit. Kejutan kecil menyenangkan itu telah usai dan hilang keajaibannya. Tapi setiap kali aku teringat dengan potongan bagian dari kenangan itu, dan melewati jalan yang biasa aku lewati ketika berpapasan dengannya, aku selalu dapat tersenyum. Pun hingga detik ini.