Mozaik Kenangan
Setiap kisah punya awalan. Tapi bagiku, kisahku tak ada
awalan, awalan itu sudah terskenario dengan rapi oleh sutradara langit yang tak
pernah kuketahui apa maunya. Aku tak punya pilihan untuk memilih menjadi
pemeran apa atau bagaimana dialogku nanti. Yang ku tahu hanya menjalankan
skenario yang sudah ada. Prolog, akhiran, dan epilog. Kali ini, setting cerita
nya adalah sebuah tempat kecil di pojok gedung L bernama “Iqtishodi”. Dengan
berat hati, lagi, harus kutinggalkan tempat yang membuatku nyaman. Lucu juga,
tempat itu yang dulu aku sangat benci. Tapi entah kenapa kini sulit untuk
kulepaskan. Apakah hal yang sama akan terjadi juga pada ceritaku kali ini? jawabanku,
entahlah. Aku hanya ingin membiarkan ini seperti air yang mengalir.
Pertama datang, dialog pertama hanyalah jawaban “Hai!”
sekuat tenaga aku berusaha menjelaskan siapa aku? darimana aku datang? apa
peranku di sini?. Ya, hal-hal seperti itulah yang bisa membuatku memulai
pembicaraan dengan orang lain di tempat asing ini. Hm.. sebenarnya Bukan tempat
yang terlalu asing juga, pernah ada jodoh antara aku dan tempat ini untuk
beberapa episode dalam scene ku bersama Mr. A. Sebut saja begitu. Mr. A untuk
tempat ku dulu, dan MR. I untuk tempatku yang sekarang. Untuk selanjutnya kita
setuju memakai penyebutan itu saja ya.
Sebagai pemeran pendukung, aku ingin sekali bisa membuat
sesuatu. Lebih tepatnya, aku ingin membuat keberadaanku disana memiliki arti
bagi seseorang. Ya, setidaknya seseorang. Itu sudah cukup bagiku. Tak pernah
berani bermimpi untuk semuanya karena aku tahu itu mustahil dan sangat berat.
Sehingga ketika suatu saat aku harus pergi lagi dan memulai cerita yang baru,
ada seseorang yang mengingat bahwa aku pernah ada di sana. Dan agar lebih mudah
untuk melepaskannya bila aku sudah terlalu nyaman bersamanya.
Kalau kau tanya bagaimana tempat itu, tempat yang hangat
kukira. Semua orang yang masuk ke tempat ini, semuanya tersenyum tak lupa jabat
tangan hangat dan pelukan penyemangat dengan lantunan doa-doa terindah yang
diucapkan oleh saudara. Dan pun dibalas dengan indah pula, wa’alaikumussalam
warahmatullahi wabarakatuh. Selalu
begitu, dari dulu, hingga sekarang dan sampai kapanpun. Itu adalah warna pelangi
pertama yang kudapat di sini. Bukankah pelangi memiliki tujuh warna? akan
kukisahkan padamu pelangi milikku untuk Mr. I.
Detik berganti menit, menit berganti jam, jam berganti hari,
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, waktu selalu berjalan setia
seperti itu. Tak pernah terlewat sedikit pun, selalu presisi. Di bulan kedua
aku berperan di sana, kurasakan ukhuwah di antara mereka begitu erat. Hingga
mau tidak mau aku juga ikut merasakannya. Syuro pertama dengan BPH Kadeptbir,
di rumah salah satu kabir BM, menyenangkan sekali. Semuanya berkumpul, saling
mengenal satu sama lain. Apa yang di suka, bagaimana karakternya, sampai nomor
sepatu, ckck.. apakah ada yang akan memberikan hadiah sepatu untuk salah satu
dari kami? Gurauan pemecah kekakuan terlontar silih berganti, ya, sambil
membicarakan rencana program kerja ke depan dan musyawarah kerja, saat di mana
kami akan menerima pemain-pemain baru yang akan bergabung bersama “keluarga”.
Kata yang hangat bukan? “keluarga” sebuah brand yang menyatukan hati-hati kami.
Selaiknya keluarga, kami turut berjanji akan bekerjasama dan membimbing
adik-adik kami menjadi seseorang yang istimewa.
Bulan ketiga, kulihat wajah-wajah penuh harapan. Mereka
generasi baru, yang akan bergabung berjuang di sini bersama pemain lainnya
dalam “keluarga”. Kudengar ambisi dan mimpi-mimpi yang ingin mereka ukir di
tempat ini. Aku pun ikut tersentak. Mimpi seperti apa yang kupunya untukmu,
MR.I? Aku bahkan belum memikirkannya, yang kutahu hanya menyelesaikan skenario
yang dipersiapkan untukku. Dan sejak hari itu, aku mulai mencari dan merangkai
mimpi. Meski kurasakan sedikit rasa takut, tapi aku tahu “keluarga” tidak akan
pergi meninggalkanmu kan?
Semburat warna pelangi kedua. Seorang kakak akan selalu
melakukan yang terbaik untuk adik-adiknya. Seorang kakak pantang terlihat lemah
di hadapan adiknya. Seorang kakak ingin selalu terlihat kuat di depan adik
kesayangannya. Itulah yang kurasakan, saat program kerja akbar pertama kami
terselenggara. Jabat tangan hangat penyemangat. Keluhan tertahan yang berubah
menjadi senyuman tersembunyi di balik wajah-wajah lelah itu. Semua orang
mengerjakan posnya masing-masing, saling bertanya apakah kamu butuh bantuanku?
apakah ada yang bisa dibantu? mana yang belum selesai? Tidak ada pemain senior
dan junior di sini. Tidak ada tempat untuk itu. Yang ada hanyalah
kebersamaan. Akupun mendapatkan
pengalaman yang berharga di sini. Seorang adik datang menghampiriku. Tanpa rasa
sungkan, mengalirlah cerita-cerita darinya tentang perjuangannya untuk
mempertahankan tempatnya di Mr. I. Akupun terdiam. Dia begitu berkeras
meluangkan waktu di sini, sementara aku justru ingin cepat pergi. Saat itu
hatiku tersentuh, kesempatan menjalani peran semacam ini kutahu tak kan datang
dua kali. Sekali lagi aku mendapat warna pelangi di sini. Perasaan dipercaya
dan mempercayai. Alhamdulillah acara berjalan dengan lancar dan sukses. Lagi,
senyuman lega, pelukan hangat dari orang-orang di sekitarmu. Tapi sayang,
sekarang adik itu sudah tidak lagi bersama kami. Walau begitu, aku dapat
mengerti perasaannya. Dan untuknya aku akan menggunakan waktuku yang masih
tersisa di sini untuk berbuat yang terbaik, setidaknya menggantikanmu, adikku.
Setiap berkumpul dengan orang-orang hebat itu, para
BPHkadeptbir, perasaanku selalu meluap-luap. Senang bisa bersama dengan mereka.
9 orang yang mengemban tugas yang mungkin jauh lebih berat dariku. Tidak ada
yang karakternya sama, semua punya keunikannya masing-masing. Ada yang bertipe
koleris dan keras kepala, ada yang cinta damai, ada yang sanguinis dan selalu
menghadirkan tawa dan gurau, ada yang seperti air mengalir, ada yang
berperangai lembut dan menyukai hobi yang tidak biasa, ada yang senang
bercerita, ada calon hafiz,
ada yang berjiwa pemimpin, ada juga yang memiliki segudang ide, kalau aku? aku
tidak berani mendeskripsikan diriku di antara mereka, mereka sangat istimewa.
Setidaknya momen-momen seperti ini, yang membuat diriku kadang tersenyum
sendiri ketika merasakan penat dan kesendirian yang seketika datang menyergap
saat aku merindukan Mr. A. Warna pelangi ketiga yang kudapat di sini.
Kebersamaan itu lebih banyak dibangun dari seringnya
“keluarga” bersama, mengunjungi satu tempat. Sampai-sampai ada julukan yang
begitu melekat pada kabinet tahun ini. Yaitu kabinet jalan-jalan, J. Dari kesemua
perjalanan aku hanya sempat mencicipi beberapa. Lagi, aku kembali harus
memilih. Kejadian sama berulang tapi dengan setting cerita dan waktu yang
berbeda. Di masa itu yang harus kupilih adalah pilihan yang teramat sulit. Dulu
pernah ada waktu ketika aku menjadi bagian dari cerita Mr. K (Mr.K adalah
sebutanku untuk sebuah tempat yang berukuran hampir sama dengan Mr.A yang
letaknya berhadapan dengan Mr. I). Mungkin lain kali akan kukisahkan. Untuk
yang sekarang, bukan pilihan yang sulit sebenarnya waktu itu, saat rasa
sayangku pada Mr. I belum terlalu besar. Dengan mudah aku memilih menghabiskan
waktu bersama teman-teman dari skenarioku sebelumnya di Mr. A. Sampai sekarang
aku tidak pernah menyesali pilihanku saat itu. Namun, saat melepas kepergian
“keluarga” ke kota kembang, rasanya ada ruang kosong yang menelusup ke dalam
hati ketika melihat deru bus kampus membawa mereka pergi. Napas tertahan
kuhembuskan perlahan, hati-hati di jalan, doaku dalam hati. Pun ketika
tiba-tiba saja, banyak sms masuk yang berebutan mencuri perhatianku untuk
membacanya. Kebanyakan dari mereka adalah nomor-nomor yang tidak kukenal.
Selidik punya selidik ternyata itu adalah “keluarga” yang menghiburku dan
mengatakan bahwa kehadiranku memberi arti di antara mereka dan mereka berharap saat
itu aku ada di tengah-tengah mereka. Desh… hatiku mencelos. Rasanya belum
pernah aku mendapat perhatian seperti ini. Sesaat konsentrasiku buyar,
sepersekian detik kemudian aku berharap hari itu aku bisa bersama dengan
mereka, mengenal “keluarga” dengan lebih dekat. Karena sesedih apapun, selama
ada orang yang kau sayangi, maka semua sedih itu akan seperti buih di lautan,
hilang ditelan udara seperti uap air. Langit malam hari itu benar-benar
istimewa. Dan Perhatian itu, Warna pelangi keempat yang diberikan Mr. I
untukku.
Sceneku di sini memasuki bulan keempat. Scene itu adalah
scene di mana BPHkadeptbir “keluarga” harus berpisah sementara dengan
kebersamaan yang ditawarkan oleh Mr. I. Berat sebenarnya melepas mereka pergi
selama satu hingga dua bulan. Meski berbagai konsolidasi telah digelar, tapi
tetap ada rasa getir juga membayangkan tinggal aku sendiri yang menyandang
gelar angkatan senior dengan adik-adik yang masih memiliki banyak tanggung
jawab yang harus diselesaikan. Saat itu aku menghadapi gejolak yang luarbiasa.
Aku tahu mereka yang pergi tidak akan sepenuhnya meninggalkan Mr. I, tapi
mereka juga tidak akan sepenuhnya berada di waktu-waktu yang genting, bukan. Di
sana aku. Kemandirian itu memang latihan yang butuh ketulusan dan kemauan juga
pengertian yang tidak habis-habis.
Warna pelangi kelima. Di antara sekian banyak peran, aku
lebih memilih menjadi kru belakang layar. Agar tidak terlalu terlihat, tapi
setidaknya aku bisa melakukan sesuatu untuk mereka. Itu yang kupikir sejak awal
bahkan sampai saat ini. Meskipun keputusanku itu kadang menimbulkan sakit yang
lukanya tidak kunjung sembuh hingga sekarang. Dari kesempatan ini, aku mulai
mengenal pejuang-pejuang kecil dengan banyak mimpi itu lebih dekat. Sifat mereka,
keunikan mereka, apa yang mereka suka. Kalau tidak ada masa seperti ini,
mungkin selamanya aku tidak akan pernah tahu seperti apa mereka. Beberapa ada
yang ku kenal amat dekat. bahkan kami saling bertukar cerita. Saling memberi
semangat dan saran. Ada kalanya, juga sering berkirim pesan yang tidak perlu
tujuan dan tema atau pertanyaan. Karena yang dibutuhkan hanyalah hati untuk
mengerti. Mungkin ini adalah berkah yang Allah kirimkan untukku, tentang
keberadaanku di sana. Menjadi seseorang yang dibutuhkan oleh orang lain adalah
sangat berharga. Pun menjadi seseorang yang keberadaannya tidak bisa digantikan
oleh apapun juga sangat berharga. Aku mulai menginginkan lebih. Tapi seperti
permintaanku di awal, sebenarnya begini saja sudah cukup.
Skenario
dari sutradara langit sudah hampir selesai. Memasuki scene-scene terakhir.
Entahlah, samar-samar aku mengingatnya. Mungkin karena dialog-dialog itu
terlalu indah atau mungkin terlalu menyakitkan. Hari-hari penantian berakhirnya
masa bakti tugas, aku lebih banyak ditemani dengan kesendirian Mr. I. Mencoba
mengumpulkan serpih-serpih. Ah ya, aku ingat, bulan Desember itu. Setelah
kejadian yang sama berulang (Kau pasti tahu alasannya, ya, karena Mr.A) ketika
aku tidak bisa bersama bepergian dengan “keluarga” ke kota kembang untuk kedua
kalinya, sekarang aku berkesempatan untuk bisa merasakan kebersamaan itu yang
mungkin aku sudah tertinggal jauh. Tapi tak bisa berharap banyak, karena tidak
semua kru “keluarga” bergabung bersamaku di acara kali ini. Sedih. Tapi bulan
Desember selalu istimewa. Setidaknya bagiku, melewatkan waktu kelahiranku
bersama “keluarga” adalah hal yang membahagiakan. Sebuah kado kecil yang tidak
akan kulupa, tidak peduli apakah mereka mengingat hari itu, tapi aku akan
selalu mengingatnya. Di dalam bus bersama mereka, berbagi cerita, melalui
barisan pepohonan dan pegunungan serta udara malam yang berasap. Desember itu,
berhasil melukis pelangi ke enam bersama Mr. I.
Tibalah
saatnya aku harus mengisahkan padamu tentang guratan warna pelangi terakhir.
Guratan itu, aku tidak pernah tahu dari apa ia terbentuk. Seperti hati yang
tidak ada yang tahu seperti apa isinya. Airmata yang jatuh karenamu, senyuman
yang ada karenamu, amarah yang meluap juga karenamu, dan rasa bahagia yang kau
hadirkan untukku. Cerita ini, dialog-dialog kebersamaan kita, aku tidak pernah
bisa mengingat semuanya dengan jelas lagi, Tapi aku berjanji akan mengenggam
hal yang penting tentangmu. Tentang pelangi ini. Meski di akhir, luka itu harus
merekah kembali, meski akhirnya aku harus meneteskan airmata karenamu lagi,
tapi terimakasih untuk sebentuk pelangi ini. Dan aku juga tidak akan pernah
menyalahkan sang sutradara langit yang telah membuatku bisa berjalan bersama
denganmu di sepanjang jalan ini sebelum akhirnya aku tiba di persimpangan jalan
lainnya. Karena semua yang terjadi adalah istimewa. Warna pelangi terakhir, aku
tidak tahu seperti apa. Apakah aku sudah melukisnya? atau mungkin selamanya aku
tidak akan pernah tahu.
Simpang
jalan sudah di depan mata, selamat tinggal Mr. I. Aku akan pergi menjemput
peranku yang lain yang sudah menunggu. Seperti sebelumnya, aku tidak pernah
tahu skenario macam apa dan cerita seperti apa yang harus kujalani. Tapi dalam
setiap awal persimpangan ini, aku selalu berdo’a. Semoga, semoga aku juga bisa
melukis pelangi di sana. Sama seperti ketika aku melukis pelangi bersamamu.
Yang awalnya asing akan tetap asing. Dan akan berakhir dengan asing pula.
Sebentuk
Pelangi Untuk Iqtishodi “Keluarga” dan kau menjawabnya “Karena Kita Bersaudara”.
14 Februari 2013 pukul 22.30
huhuhu semakin sedih untuk melepas kaka :'(