twitter



Mozaik Kenangan


Setiap kisah punya awalan. Tapi bagiku, kisahku tak ada awalan, awalan itu sudah terskenario dengan rapi oleh sutradara langit yang tak pernah kuketahui apa maunya. Aku tak punya pilihan untuk memilih menjadi pemeran apa atau bagaimana dialogku nanti. Yang ku tahu hanya menjalankan skenario yang sudah ada. Prolog, akhiran, dan epilog. Kali ini, setting cerita nya adalah sebuah tempat kecil di pojok gedung L bernama “Iqtishodi”. Dengan berat hati, lagi, harus kutinggalkan tempat yang membuatku nyaman. Lucu juga, tempat itu yang dulu aku sangat benci. Tapi entah kenapa kini sulit untuk kulepaskan. Apakah hal yang sama akan terjadi juga pada ceritaku kali ini? jawabanku, entahlah. Aku hanya ingin membiarkan ini seperti air yang mengalir.

Pertama datang, dialog pertama hanyalah jawaban “Hai!” sekuat tenaga aku berusaha menjelaskan siapa aku? darimana aku datang? apa peranku di sini?. Ya, hal-hal seperti itulah yang bisa membuatku memulai pembicaraan dengan orang lain di tempat asing ini. Hm.. sebenarnya Bukan tempat yang terlalu asing juga, pernah ada jodoh antara aku dan tempat ini untuk beberapa episode dalam scene ku bersama Mr. A. Sebut saja begitu. Mr. A untuk tempat ku dulu, dan MR. I untuk tempatku yang sekarang. Untuk selanjutnya kita setuju memakai penyebutan itu saja ya.

Sebagai pemeran pendukung, aku ingin sekali bisa membuat sesuatu. Lebih tepatnya, aku ingin membuat keberadaanku disana memiliki arti bagi seseorang. Ya, setidaknya seseorang. Itu sudah cukup bagiku. Tak pernah berani bermimpi untuk semuanya karena aku tahu itu mustahil dan sangat berat. Sehingga ketika suatu saat aku harus pergi lagi dan memulai cerita yang baru, ada seseorang yang mengingat bahwa aku pernah ada di sana. Dan agar lebih mudah untuk melepaskannya bila aku sudah terlalu nyaman bersamanya.
Kalau kau tanya bagaimana tempat itu, tempat yang hangat kukira. Semua orang yang masuk ke tempat ini, semuanya tersenyum tak lupa jabat tangan hangat dan pelukan penyemangat dengan lantunan doa-doa terindah yang diucapkan oleh saudara. Dan pun dibalas dengan indah pula, wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.  Selalu begitu, dari dulu, hingga sekarang dan sampai kapanpun. Itu adalah warna pelangi pertama yang kudapat di sini. Bukankah pelangi memiliki tujuh warna? akan kukisahkan padamu pelangi milikku untuk Mr. I.

Detik berganti menit, menit berganti jam, jam berganti hari, Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, waktu selalu berjalan setia seperti itu. Tak pernah terlewat sedikit pun, selalu presisi. Di bulan kedua aku berperan di sana, kurasakan ukhuwah di antara mereka begitu erat. Hingga mau tidak mau aku juga ikut merasakannya. Syuro pertama dengan BPH Kadeptbir, di rumah salah satu kabir BM, menyenangkan sekali. Semuanya berkumpul, saling mengenal satu sama lain. Apa yang di suka, bagaimana karakternya, sampai nomor sepatu, ckck.. apakah ada yang akan memberikan hadiah sepatu untuk salah satu dari kami? Gurauan pemecah kekakuan terlontar silih berganti, ya, sambil membicarakan rencana program kerja ke depan dan musyawarah kerja, saat di mana kami akan menerima pemain-pemain baru yang akan bergabung bersama “keluarga”. Kata yang hangat bukan? “keluarga” sebuah brand yang menyatukan hati-hati kami. Selaiknya keluarga, kami turut berjanji akan bekerjasama dan membimbing adik-adik kami menjadi seseorang yang istimewa.

Bulan ketiga, kulihat wajah-wajah penuh harapan. Mereka generasi baru, yang akan bergabung berjuang di sini bersama pemain lainnya dalam “keluarga”. Kudengar ambisi dan mimpi-mimpi yang ingin mereka ukir di tempat ini. Aku pun ikut tersentak. Mimpi seperti apa yang kupunya untukmu, MR.I? Aku bahkan belum memikirkannya, yang kutahu hanya menyelesaikan skenario yang dipersiapkan untukku. Dan sejak hari itu, aku mulai mencari dan merangkai mimpi. Meski kurasakan sedikit rasa takut, tapi aku tahu “keluarga” tidak akan pergi meninggalkanmu kan?

Semburat warna pelangi kedua. Seorang kakak akan selalu melakukan yang terbaik untuk adik-adiknya. Seorang kakak pantang terlihat lemah di hadapan adiknya. Seorang kakak ingin selalu terlihat kuat di depan adik kesayangannya. Itulah yang kurasakan, saat program kerja akbar pertama kami terselenggara. Jabat tangan hangat penyemangat. Keluhan tertahan yang berubah menjadi senyuman tersembunyi di balik wajah-wajah lelah itu. Semua orang mengerjakan posnya masing-masing, saling bertanya apakah kamu butuh bantuanku? apakah ada yang bisa dibantu? mana yang belum selesai? Tidak ada pemain senior dan junior di sini. Tidak ada tempat untuk itu. Yang ada hanyalah kebersamaan.  Akupun mendapatkan pengalaman yang berharga di sini. Seorang adik datang menghampiriku. Tanpa rasa sungkan, mengalirlah cerita-cerita darinya tentang perjuangannya untuk mempertahankan tempatnya di Mr. I. Akupun terdiam. Dia begitu berkeras meluangkan waktu di sini, sementara aku justru ingin cepat pergi. Saat itu hatiku tersentuh, kesempatan menjalani peran semacam ini kutahu tak kan datang dua kali. Sekali lagi aku mendapat warna pelangi di sini. Perasaan dipercaya dan mempercayai. Alhamdulillah acara berjalan dengan lancar dan sukses. Lagi, senyuman lega, pelukan hangat dari orang-orang di sekitarmu. Tapi sayang, sekarang adik itu sudah tidak lagi bersama kami. Walau begitu, aku dapat mengerti perasaannya. Dan untuknya aku akan menggunakan waktuku yang masih tersisa di sini untuk berbuat yang terbaik, setidaknya menggantikanmu, adikku.

Setiap berkumpul dengan orang-orang hebat itu, para BPHkadeptbir, perasaanku selalu meluap-luap. Senang bisa bersama dengan mereka. 9 orang yang mengemban tugas yang mungkin jauh lebih berat dariku. Tidak ada yang karakternya sama, semua punya keunikannya masing-masing. Ada yang bertipe koleris dan keras kepala, ada yang cinta damai, ada yang sanguinis dan selalu menghadirkan tawa dan gurau, ada yang seperti air mengalir, ada yang berperangai lembut dan menyukai hobi yang tidak biasa, ada yang senang bercerita, ada calon hafiz, ada yang berjiwa pemimpin, ada juga yang memiliki segudang ide, kalau aku? aku tidak berani mendeskripsikan diriku di antara mereka, mereka sangat istimewa. Setidaknya momen-momen seperti ini, yang membuat diriku kadang tersenyum sendiri ketika merasakan penat dan kesendirian yang seketika datang menyergap saat aku merindukan Mr. A. Warna pelangi ketiga yang kudapat di sini.

Kebersamaan itu lebih banyak dibangun dari seringnya “keluarga” bersama, mengunjungi satu tempat. Sampai-sampai ada julukan yang begitu melekat pada kabinet tahun ini. Yaitu kabinet jalan-jalan, J. Dari kesemua perjalanan aku hanya sempat mencicipi beberapa. Lagi, aku kembali harus memilih. Kejadian sama berulang tapi dengan setting cerita dan waktu yang berbeda. Di masa itu yang harus kupilih adalah pilihan yang teramat sulit. Dulu pernah ada waktu ketika aku menjadi bagian dari cerita Mr. K (Mr.K adalah sebutanku untuk sebuah tempat yang berukuran hampir sama dengan Mr.A yang letaknya berhadapan dengan Mr. I). Mungkin lain kali akan kukisahkan. Untuk yang sekarang, bukan pilihan yang sulit sebenarnya waktu itu, saat rasa sayangku pada Mr. I belum terlalu besar. Dengan mudah aku memilih menghabiskan waktu bersama teman-teman dari skenarioku sebelumnya di Mr. A. Sampai sekarang aku tidak pernah menyesali pilihanku saat itu. Namun, saat melepas kepergian “keluarga” ke kota kembang, rasanya ada ruang kosong yang menelusup ke dalam hati ketika melihat deru bus kampus membawa mereka pergi. Napas tertahan kuhembuskan perlahan, hati-hati di jalan, doaku dalam hati. Pun ketika tiba-tiba saja, banyak sms masuk yang berebutan mencuri perhatianku untuk membacanya. Kebanyakan dari mereka adalah nomor-nomor yang tidak kukenal. Selidik punya selidik ternyata itu adalah “keluarga” yang menghiburku dan mengatakan bahwa kehadiranku memberi arti di antara mereka dan mereka berharap saat itu aku ada di tengah-tengah mereka. Desh… hatiku mencelos. Rasanya belum pernah aku mendapat perhatian seperti ini. Sesaat konsentrasiku buyar, sepersekian detik kemudian aku berharap hari itu aku bisa bersama dengan mereka, mengenal “keluarga” dengan lebih dekat. Karena sesedih apapun, selama ada orang yang kau sayangi, maka semua sedih itu akan seperti buih di lautan, hilang ditelan udara seperti uap air. Langit malam hari itu benar-benar istimewa. Dan Perhatian itu, Warna pelangi keempat yang diberikan Mr. I untukku.

Sceneku di sini memasuki bulan keempat. Scene itu adalah scene di mana BPHkadeptbir “keluarga” harus berpisah sementara dengan kebersamaan yang ditawarkan oleh Mr. I. Berat sebenarnya melepas mereka pergi selama satu hingga dua bulan. Meski berbagai konsolidasi telah digelar, tapi tetap ada rasa getir juga membayangkan tinggal aku sendiri yang menyandang gelar angkatan senior dengan adik-adik yang masih memiliki banyak tanggung jawab yang harus diselesaikan. Saat itu aku menghadapi gejolak yang luarbiasa. Aku tahu mereka yang pergi tidak akan sepenuhnya meninggalkan Mr. I, tapi mereka juga tidak akan sepenuhnya berada di waktu-waktu yang genting, bukan. Di sana aku. Kemandirian itu memang latihan yang butuh ketulusan dan kemauan juga pengertian yang tidak habis-habis.

Warna pelangi kelima. Di antara sekian banyak peran, aku lebih memilih menjadi kru belakang layar. Agar tidak terlalu terlihat, tapi setidaknya aku bisa melakukan sesuatu untuk mereka. Itu yang kupikir sejak awal bahkan sampai saat ini. Meskipun keputusanku itu kadang menimbulkan sakit yang lukanya tidak kunjung sembuh hingga sekarang. Dari kesempatan ini, aku mulai mengenal pejuang-pejuang kecil dengan banyak mimpi itu lebih dekat. Sifat mereka, keunikan mereka, apa yang mereka suka. Kalau tidak ada masa seperti ini, mungkin selamanya aku tidak akan pernah tahu seperti apa mereka. Beberapa ada yang ku kenal amat dekat. bahkan kami saling bertukar cerita. Saling memberi semangat dan saran. Ada kalanya, juga sering berkirim pesan yang tidak perlu tujuan dan tema atau pertanyaan. Karena yang dibutuhkan hanyalah hati untuk mengerti. Mungkin ini adalah berkah yang Allah kirimkan untukku, tentang keberadaanku di sana. Menjadi seseorang yang dibutuhkan oleh orang lain adalah sangat berharga. Pun menjadi seseorang yang keberadaannya tidak bisa digantikan oleh apapun juga sangat berharga. Aku mulai menginginkan lebih. Tapi seperti permintaanku di awal, sebenarnya begini saja sudah cukup.

Skenario dari sutradara langit sudah hampir selesai. Memasuki scene-scene terakhir. Entahlah, samar-samar aku mengingatnya. Mungkin karena dialog-dialog itu terlalu indah atau mungkin terlalu menyakitkan. Hari-hari penantian berakhirnya masa bakti tugas, aku lebih banyak ditemani dengan kesendirian Mr. I. Mencoba mengumpulkan serpih-serpih. Ah ya, aku ingat, bulan Desember itu. Setelah kejadian yang sama berulang (Kau pasti tahu alasannya, ya, karena Mr.A) ketika aku tidak bisa bersama bepergian dengan “keluarga” ke kota kembang untuk kedua kalinya, sekarang aku berkesempatan untuk bisa merasakan kebersamaan itu yang mungkin aku sudah tertinggal jauh. Tapi tak bisa berharap banyak, karena tidak semua kru “keluarga” bergabung bersamaku di acara kali ini. Sedih. Tapi bulan Desember selalu istimewa. Setidaknya bagiku, melewatkan waktu kelahiranku bersama “keluarga” adalah hal yang membahagiakan. Sebuah kado kecil yang tidak akan kulupa, tidak peduli apakah mereka mengingat hari itu, tapi aku akan selalu mengingatnya. Di dalam bus bersama mereka, berbagi cerita, melalui barisan pepohonan dan pegunungan serta udara malam yang berasap. Desember itu, berhasil melukis pelangi ke enam bersama Mr. I.

Tibalah saatnya aku harus mengisahkan padamu tentang guratan warna pelangi terakhir. Guratan itu, aku tidak pernah tahu dari apa ia terbentuk. Seperti hati yang tidak ada yang tahu seperti apa isinya. Airmata yang jatuh karenamu, senyuman yang ada karenamu, amarah yang meluap juga karenamu, dan rasa bahagia yang kau hadirkan untukku. Cerita ini, dialog-dialog kebersamaan kita, aku tidak pernah bisa mengingat semuanya dengan jelas lagi, Tapi aku berjanji akan mengenggam hal yang penting tentangmu. Tentang pelangi ini. Meski di akhir, luka itu harus merekah kembali, meski akhirnya aku harus meneteskan airmata karenamu lagi, tapi terimakasih untuk sebentuk pelangi ini. Dan aku juga tidak akan pernah menyalahkan sang sutradara langit yang telah membuatku bisa berjalan bersama denganmu di sepanjang jalan ini sebelum akhirnya aku tiba di persimpangan jalan lainnya. Karena semua yang terjadi adalah istimewa. Warna pelangi terakhir, aku tidak tahu seperti apa. Apakah aku sudah melukisnya? atau mungkin selamanya aku tidak akan pernah tahu.

Simpang jalan sudah di depan mata, selamat tinggal Mr. I. Aku akan pergi menjemput peranku yang lain yang sudah menunggu. Seperti sebelumnya, aku tidak pernah tahu skenario macam apa dan cerita seperti apa yang harus kujalani. Tapi dalam setiap awal persimpangan ini, aku selalu berdo’a. Semoga, semoga aku juga bisa melukis pelangi di sana. Sama seperti ketika aku melukis pelangi bersamamu. Yang awalnya asing akan tetap asing. Dan akan berakhir dengan asing pula.

Sebentuk Pelangi Untuk Iqtishodi “Keluarga” dan kau menjawabnya “Karena Kita Bersaudara”.    

1 komentar:

  1. huhuhu semakin sedih untuk melepas kaka :'(

Posting Komentar