twitter


Cuaca di luar ruangan hari ini sangat tidak mendukung untuk bepergian. Angin bertiup kencang, petir menyambar-nyambar dan hujan turun dengan lebatnya. Padahal hari ini Azalea harus bergegas ke kantor mengambil beberapa berkas pekerjaannya yang belum selesai. Dan ini hari Minggu. Sudah lama sekali rutinitasnya berjalan seperti ini. Hari Senin-Jumat dia akan berangkat ke kantor pagi buta dan pulang larut malam. Lalu hari Sabtu dan Minggu dia akan menjadi "penjaga" kantor (sampai-sampai ia punya kunci kantor untuknya sendiri, hehe..) karena harus menyelesaikan pekerjaannya yang menumpuk. Kata "harus" itu hanya berlaku baginya. Sebab Azalea memang menaruh tuntutan yang tinggi terhadap dirinya. Selain pekerjaannya dia tidak punya yang lainnya. Ia merasa untuk itulah ia hidup dan lupa bagaimana kehidupannya sebelum ia mendapatkan pekerjaan impian ini.

Azalea memutuskan untuk berdiam di rumah sambil berdoa hujan akan cepat reda sehingga ia bisa menjalankan rencananya seperti semula. Sudah lima tahun Azalea tinggal sendiri terpisah dari orangtuanya. Dia merasa begini lebih baik. Selain bisa lebih mandiri, ia pun bisa lebih bebas melakukan apa yang ia suka. Rumahnya tidak terlalu besar. Hanya ada satu kamar kecil, satu ruang tamu dan dapur. Tapi sudah cukup besar baginya yang tinggal seorang diri. Sambil menunggu, Azalea membuat secangkir coklat panas. Kebiasaan yang tidak pernah berubah sejak dulu. Saat hari berhujan ia memang paling senang menyeruput secangkir coklat panas.

Lima tahun lalu Azalea lulus dari perguruan tinggi dengan nilai yang memuaskan. Dan ia segera mendapatkan pekerjaan impiannya. Orang lain yang melihatnya akan menganggap hidup Azalea benar-benar sempurna. Tapi selama lima tahun ini pula Azalea merasa ada sesuatu yang kurang dalam hidupnya. Sekeras apapun ia mencoba mencarinya, ia tetap tidak bisa menemukan apa itu. Ia pun menenggelamkan diri dalam aktivitas pekerjaan agar tidak ada waktu luang baginya untuk memikirkan hal lain yang menguras tenaga dan pikirannya untuk sesuatu yang abstrak. Dan hari-haripun berlalu melewatinya. 

Kehidupan Azalea memang tampak sempurna di luar, tapi itu hanyalah bungkus yang cantik. Keluarganya tidak seperti keluarga teman-temannya yang lain. Sejak tingkat 2 akhir di perkuliahan, Azalea harus menghadapi kenyataan terpahit dalam hidup seorang anak yakni perceraian kedua orang tuanya. Sebuah mimpi buruk yang membuatnya terjaga dari angan indah masa lalu. Tanpa ia sadari, gelas yang rapuh itu sudah lama retak bahkan saat ia masih kecil. Ayah dan ibunya kerap kali terlibat pertengkaran kecil sampai besar. Tapi Azalea kecil tidak pernah benar-benar mengingatnya. Dan ia baru benar-benar terjaga saat pemahaman itu ditanamkan padanya. Keluarganya tidak akan pernah sama lagi seperti dulu. Tidak akan ada lagi makan malam bersama keluarga yang hangat. Setiap pergi ke rumah temannya yang memiliki keluarga yang lengkap atau , mendengar cerita tentang keluarga temannya yang harmonis, Azalea akan menenggelamkan dirinya, berbohong pada diri sendiri bahwa keluarganya juga sama seperti itu. Membentuk sebuah khayalan yang ia percayai. Siapa yang sangka? Cerita yang selama ini ia yakini hanya ada di cerita picisan sinetron tv ternyata terjadi padanya dengan sangat nyata. Siapa yang berhak disalahkan? Azalea tidak berani menjawab. Ia pun tidak ingin ambil pusing, karena rasa sesak kesedihan itu sangat menguras energi dan pemahamannya. Ia memilih untuk melimpahkan kesedihannya pada kesibukan. Nilai akademisnya memang sempat goyah di tahun-tahun ketiga dan empat tapi ia berusaha untuk bangkit. Setidaknya jika ia tidak memiliki keluarga yang "sukses" ia masih memiliki kehidupan lain yang "sukses" yang berharga untuk diperjuangkan.

Setelah ditunggu hingga pagi beranjak berganti siang, hujan tidak kunjung reda apalagi berhenti. Azalea merebahkan tubuhnya di atas kasur yang empuk. Memandang langit-langit. Sebenarnya ia sangat benci waktu kosong seperti ini karena hanya akan membuatnya berpikir dan mengingat masa lalu yang tidak ingin dikenangnya. Dia pun segera menegakkan tubuhnya. Melihat sekeliling. Mungkin lebih baik jika aku membereskan tempat ini, pikir Azalea. Sudah lama juga kamarnya tidak diubah tata ruangnya. Mungkin hal itu akan membuat mood nya menjadi lebih bagus ke depan. Ia pun segera mengatur barang-barang di dalam rumahnya. Merapikan setumpuk kertas-kertas dan buku-buku di dalam kardus yang tidak pernah ia buka semenjak pindah ke tempat ini. Salah satu kardus itu di atasnya bertuliskan "harta karunku". Azalea mengernyitkan dahi. Seingatnya ia tidak punya hal semacam ini. Atau mungkin ia telah "lupa". Dengan penasaran Azalea membuka kardus yang berukuran lumayan besar itu. Jangan-jangan ini tabungan rahasiaku yang aku lupa, batin Azalea, hehe..

Debu yang ada di atas tutup kardus itu begitu tebal sampai-sampai ia bersin beberapa kali karena menghirup debu tersebut. Di dalamnya ada sebuah plastik yang membungkus beberapa barang dan beberapa kardus kecil serta map-map yang menyimpan sesuatu. Saat mengeluarkan semuanya, Azalea begitu tercengang. Benda-benda itu. Plastik yang membungkus majalah kesukaannya saat SMP dan SMA. Azalea kecil sangat menyukai cerita dalam majalah komik Disney dan ia selalu menyisihkan uang jajannya hingga ia rela berjalan kaki pergi dan pulang sekolah agar dapat membeli majalah itu. Ibunya tidak akan pernah memberikan uang untuknya membeli barang semacam itu maka ia pun harus menabung. Majalah itu sudah berubah kekuningan. Satu per satu ia membuka lembar majalah. Ia sudah lupa bagaimana ceritanya, tapi ia ingat sedikit dengan rasa senang ketika dulu ia membaca cerita tentang persahabatan lima orang gadis penyihir. Azalea yang sekarang tidak percaya dengan hal-hal fantasi tanpa logika seperti itu. Azalea tertawa sendiri. Dulu aku se naif ini ya, pikir Azalea. Lalu ia membuka sebuah kardus kecil yang ada di dalamnya. Ternyata di sana tersimpan buku-buku harian miliknya. Tulisanku jelek sekali waktu dulu, ucap Azalea. Perlahan ia membaca tulisannya, ada rasa rindu yang menyergap seketika. Tulisan-tulisan yang berisi mimpi masa kecilnya, mimpi yang ia tulis saat ia masih mempercayai kekuatan mimpi. Tulisan tentang cinta pertamanya, tulisan tentang sahabat-sahabatnya. Tanpa sadar Azalea meneteskan airmata. Teringat, Betapa dulu ia begitu bersemangat dengan semua hal. Betapa ia sangat menikmati hal-hal yang terjadi dalam kehidupannya. Saat ia selalu membawa notes kecil kemanapun ia pergi dan mulai menulis apapun hal menarik yang ditemukannya. Hari-hari saat ia begitu mengagumi langit. Hari saat ia sangat senang ketika hujan turun dan berharap agar hujan turun setiap hari agar ia bisa memakai payung kesukaannya dan berkhayal tentang sesuatu membuat cerita baru.      

Buku-buku cerita yang dikarangnya juga ada di sana. Tiba-tiba Azalea merinding ketika melihat buku itu. Dan membuka setiap lembarnya dengan penuh rasa kasih sayang. Cerita-cerita yang menemani hari-harinya. Saat ia sedih, pun saat ia gembira. Cerita yang berisi keluguan dan kepolosan penulisnya. Ia mengingat semua cerita tersebut saat melihat bagian pertama dari setiap cerita. Sontak saja, seluruh tokoh dalam ceritanya seperti muncul di hadapannya dan menari-nari. Ada rasa rindu yang teramat sangat muncul dari dalam hati Azalea. Lalu matanya tertuju pada benda lainnya, pin kebanggaan saat ia menjadi anggota paskibra di SMP, tanda-tanda kepanitiaan miliknya dari SMP sampai kuliah yang tersusun rapi di dalam sebuah kotak kecil lainnya. Boneka-boneka kecil yang mengingatkannya pada saat pertama ia begitu senang saat mendapat benda tersebut. Map-map plastik yang berisi benda-benda saat ia menjalani masa ospek di awal kuliah, catatan-catatan saat ia menjadi panitia sebuah acara, kertas yang berisi berita beasiswa ke tempat impiannya, peta kehidupan miliknya yang ia buat saat semester 1 di perkuliahan. Buku-buku materi yang ia dapat semasa mentoring. Hadiah dari teman-teman masa kecil yang begitu sayang ia gunakan, komik-komik koleksinya yang ia dapat dari berburu seharian dari book fair satu ke book fair yang lain, dan banyak benda penting lain yang mungkin tidak berarti bagi orang lain tapi sangat berarti bagi Azalea. Lagi, ia meneteskan airmata. Azalea sendiripun tidak tahu apa alasan ia menangis. 

Saat ia melihat sebuah binder note yang tersimpan di bagian paling bawah dari kardus besar tersebut Azalea merasa bingung, binder apa ini?. Awalnya Azalea merasa asing dengan binder itu. Tapi ketika membukanya, semua ingatan akan masa bahagia itu berebut muncul dalam benaknya. Azalea ingat ini adalah binder notes-nya yang pertama yang dibelikan oleh ibunya sebagai hadiah di hari raya. Di masa itu binder notes sedang booming-booming nya dan harganya terbilang mahal. Lalu ia teringat ketika ia pergi ke pasar kaget dengan sang ibu dan merengek ingin membeli poster bergambar tokoh anime kesukaannya yang sudah ada beberapa di rumahnya. Saat ia harus menebalkan muka untuk membeli kipas yang bergambar Sakura Kinomoto di abang-abang yang lewat di depan rumahnya, saat ia membeli stiker bergambar magical doremi di depan sekolah dasar padahal saat itu ia sudah SMA. Masa-masa ketika ia membeli sebuah majalah dan koran hanya karena memuat satu ataupun hanya secuplik ulasan tentang tokoh anime idolanya. Dan saat ia dengan teliti dan tekun membolongi setiap artikel dari anime kesukaannya, menempelkannya satu per satu dengan rapi. Menjilidnya, mengaturnya agar sesuai urutan. Ia pun ingat betapa dulu ia sangat menjaga semua barang-barang itu terutama binder note yeng memuat kliping anime favoritnya. Sampai-sampai ia berikrar jika satu rumah tiba-tiba dilanda kebakaran, hal pertama yang akan dia selamatkan adalah binder note itu baru buku-buku sekolahnya, hehe.. Semua hal itu begitu rumit tapi sangat menyenangkan untuk seorang Azalea di masa itu yang tumbuh dewasa dengan semua khayalan, mimpi dan cerita dari "teman-teman" setianya. 

Azalea menghela napas panjang. Ia sudah hampir terisak dengan semua benda itu. Benda-benda itu menyimpan sebagian dari dirinya yang hilang yang selama ini berusaha ia cari. Tahun-tahun terakhir yang berlalu dalam hidupnya tiba-tiba saja terasa begitu palsu bagi seorang Azalea. Ia hidup selama ini bukan untuk dirinya. Azalea sudah tenggelam dengan hal-hal buruk yang selama ini dipercayainya sebagai penyebab ia memiliki kehidupan semu seperti sekarang dan memaksa Azalea kecil yang penuh dengan mimpi terdiam di sudut ruangan kosong dalam dirinya. Ternyata selama ini ia hanya berlari dari dirinya, berusaha mencari penawar bagi lukanya yang tak kunjung sembuh dari kenangan masa lalu yang menyakitkan tapi justru tidak menjadi dirinya sendiri. Ini memang harta karun miliknya. Azalea bersyukur memiliki "mereka" dalam kehidupannya. Dan Azalea bersyukur ia bisa menemukan harta karunnya kembali. 

Terakhir, sebuah album foto yang tersimpan rapi di sudut lain dari kardus besar tersebut. Senyum mengembang di wajahnya saat melihat wajah-wajah di dalam foto. Teman-teman masa kecilnya yang lain. Apa kabar mereka, ya? Ternyata dulu aku punya kehidupan menyenangkan seperti ini. Ternyata dulu di sekelilingku aku memiliki teman dan sahabat yang baik yang menemaniku, gumam Azalea pada dirinya sendiri. Dia melihat foto dirinya di sana yang tersenyum lebar dan bahagia.

Cuaca di luar berangsur bersahabat, angin kencang sudah tak bertiup. Hujan deras pun sudah berganti rintik-rintik kecil. Azalea menyingkap gordyn dan membuka daun jendela rumah lebar-lebar yang selama ini tidak pernah ia lakukan. Angin sejuk masuk ke dalam rumahnya. Di kejauhan rona merah pertanda senja terlihat menggantung di langit. Awan menjadi oranye dan sinar matahari pun sama membuat berkas cahaya oranye masuk ke dalam rumahnya, menerpa wajahnya. Jari-jarinya lincah menyentuh tuts-tuts di telepon gengamnya. Sebuah nama kontak dipilih. "Halo, Sizi, apa kabarmu?..."  Seorang sahabat dan sahabat lainnya. 
Azalea mulai merajut asa kembali. Mengembalikan tahun-tahun yang hilang dalam kehidupannya. Menjadi Azalea sepenuhnya, dirinya sendiri.

Dunia ini dan kehidupan adalah "Cinta yang Sederhana" 
Terimakasih, harta karunku. Jika suatu hari nanti aku kembali melupakanmu, maukah kau berbaik hati dan datang kepadaku membawa mimpi-mimpi yang kau simpan? ^_^

0 komentar:

Posting Komentar