Ini semua, semata untuk menggugurkan tanggung jawab,?
Atau karena benar-benar peduli dan rasa sayang,?
Tidak ada saat benar-benar diperlukan.
-
Saat airmata jatuh mengalir
-
Lalu! Muncul begitu saja ketika airmata telah mengering
Benarkah ia sebuah ketulusan?
0
komentar
Posted in
Label:
azalea
Kadang kau merasa benar-benar kenal dengan seseorang.
Tapi, padahal kau sama sekali tidak tahu apa-apa tentang dirinya.
Seseorang yang sekejab saja bisa berubah menjadi asing.
Bahkan ketika kau merasa dia adalah teman terbaikmu di dunia.
Seperti kata Tere Lije: "Kehilangan sahabat baik itu sungguh menyesakkan"
0
komentar
Posted in
Label:
azalea
0
komentar
Posted in
Label:
azalea
Tidak ada teman terbaik di dunia ini selain buku.
Tanpa perlu berbicara, pun mereka akan dengan senang hati menghiburmu.
Mereka akan menceritakan padamu kisah-kisah luar biasa di luar biasa.
Kau bisa terbang dengannya ke tempat manapun yang kau inginkan tanpa perlu pergi manapun.
Menangis bersamanya, tertawa bersamanya, merenung bersamanya.
Dia kan membawamu menuju ke tempat lain dalam sekejab bahkan sebelum kau menyadarinya.
Bersembunyi bersamanya dan tidak ada seorangpun yang akan tahu dan mengganggumu.
Dan yang paling penting dari semua itu adalah,
Ia adalah teman yang tidak "berisik"
Jadi jika kau ingin teman saat sendiri, sapalah ia. Dan mulailah petualangan dengannya.
^^
0
komentar
Posted in
Label:
azalea
0
komentar
Posted in
Label:
azalea
Di masa ini surat bukan lagi menjadi pilihan utama bagi banyak orang untuk berkomunikasi dan menjalin hubungan silaturahim. Pesatnya teknologi komunikasi saat ini ditambah dengan kecanggihan gadget smartphone telah menggeser surat sebagai cara untuk menyampaikan kabar.
Tapi biar bagaimanapun surat selamanya tidak bisa di gantikan.
Pernah merasakan Perasaan berdebar-debar ketika menunggu surat dari handai taulan tiba? yang seperti ini tidak akan kita dapati bila kita berkomunikasi lewat SMS, Instant messaging, chatting, WA, dan sebagainya.
Walau berkirim surat terasa tidak praktis karena membutuhkan waktu yang lama, paling cepat dua hari. kalau pakai perangko yang biasa atau yang paling murah, 2 minggu baru sampai, hehe... mungkin kabar yang disampaikan sudah tidak update lagi ya.
Tapi ada kehangatan di dalam sebuah surat, ada ketulusan dalam setiap goresan kata, dan ada kesabaran dalam setiap waktu menunggu balasan surat berikutnya.
Surat juga ada sebagai kenangan, selamanya kamu bisa membaca dan merasakan kembali perasaan yang ada dalam setiap carikan kertas. Entah itu surat dari orangtua, teman dekat, atau sahabat pena sekalipun.
Cobalah sesekali berkorespondensi dengan sahabatmu menggunakan surat.
Dalam komik Aria neo Venezia karangan Kozue Amano, sang tokoh utama Akari Mizunashi jatuh cinta pada kota yang berjuluk "Aqua" (Planet Mars saat ini.red) tersebut hanya karena di sana setiap orang selalu berkirim kabar dengan cara yang konvensional yaitu, surat.
Menyenangkan sekali bukan? menerima surat dari seseorang yang kita kenal ataupun tidak.
Selamat berkirim surat ^_^
0
komentar
Posted in
Label:
Awaken by Book
"Sure lof, its edensor,"
Baris kata penutup itu sangat berkesan. Edensor adalah buku pertama dari tetralogi laskar pelangi yang kubaca. Dari edensor, berturut-turut aku baru membaca novel laskar pelangi dan sang pemimpi. Itu juga tidak disengaja. Buku yang asal kuambil dari perpustakaan SMA dulu. Dari covernya yang filosofis banget, aku mengharapkan cerita tentang kehidupan yang berat dengan rangkaian kata puitis, tapi yang kudapat lebih dari itu.
Well, setelah menunggu sekian lama, edensor akhirnya diangkat ke layar lebar
Catat baik-baik tanggal mainnya:
24 Desember 2013 di bioskop seluruh Indonesia. Jangan lewatkan ^_^
Ini cuplikan trailernya
0
komentar
Posted in
Label:
lomba
SYARAT PENULISAN:
- Jumlah 4-8 halaman, spasi ganda (2), jenis huruf Times New Roman font 12, ukuran kerta A4.
- Margin (garis): atas, bawah, samping kiri dan kanan (semua sisi 3 cm atau 1,18 inci), beri nomor halaman.
- Kesesuaian dengan tema lomba, tidak mengandung asusila, ponografi dan kekerasan berlebihan, serta tidak menyinggung SARA.
- Biodata penulis ditulis di bagian akhir naskah cerpen, halaman biodata tidak dihitung sebagai halaman naskah cerpen.
- Mencantumkan Nomor Anggota SMCO WRITING REVOLUTION (bagi anggota SMCO) di bagian biodata atau bukti transfer registrasi bagi peserta umum. Jika tidak ada salah satunya, cerpennya dinyatakan GUGUR.
- Kirim naskah cerpen ke alamat email: lombacerpen2013@gmail.com (dengan menulis di judul/subjek email: LMCR 2013 – Judul Cerpen)
- Setiap peserta hanya boleh mengirim 1 cerpen terbaiknya.
- Cerpen tidak pernah diikutkan pada lomba cerpen atau tidak pernah diterbitkan di media cetak atau online, FB, Blog atau tidak pernah dipublikasikan dalam buku antologi.
- Syarat penulisan dan kelengkapan naskah menjadi faktor penentu lolos tidaknya naskah cerpen seleksi pertama untuk dinilai oleh Dewan Juri.
- Paling lambat pendaftaran dan pengiriman email lomba: 17 November 2013, pukul: 24.00 WIB
- Gratis untuk Anggota SMCO.
- Peserta Umum (bukan anggota SMCO) membayar uang registrasi Rp 35.000,- (sebagai uang ganti buku antologi pemenang dan ongkos kirim) dan berhak mendapatkan 1 eksemplar buku Antologi Pemenang LMC 2013. Cara pembayaran registrasi lomba bisa dilihat di bagian bawah informasi lomba ini.
- Orisinalitas.
- Kreativitas pengolahan ide.
- Kedalaman pesan.
- Keindahan bahasa, kaidah penulisan dan kelengkapan naskah.
Pengumuman 20 Nominator 15 Desember 2013, Pengumuman Pemenang 31 Desember 2013.
- Juara I: Rp 2.000.000,- (ditambah Buku Antologi Cerpen Pemenang dan sertifikat penghargaan).
- Juara II: Rp 1.000.000,- (ditambah Buku Antologi Cerpen Pemenang dan sertifikat penghargaan).
- Juara III: Rp 750.000,- (ditambah Buku Antologi Cerpen Pemenang dan sertifikat penghargaan).
- Tiga Pemenang Favorit @ Rp 200.000,- (ditambah Buku Antologi Cerpen Pemenang dan sertifikat penghargaan).
- Keputusan DEWAN JURI tidak bisa diganggu gugat.
- Panitia tidak MELAYANI SURAT-MENYURAT.
- DEWAN JURI berhak membatalkan keputusannya, jika di kemudian hari diketahui karya pemenang lomba melanggar karya cipta orang lain (plagiat)atau mengikuti lomba sejenis atau telah dimuat di koran/majalah.
- HAK CIPTA tetap ada pada penulis, sedangkan PANITIA memiliki HAK untuk MEMPUBLIKASIKANNYA (membukukkannya).
- BCA: 2200-451-972 *Joni Lis Efendi, Cabang Pekanbaru
- BNI: 023-9924-067 *Joni Lis Efendi, KCP Panam
- BRI: 2087-01001-202500 *Joni Lis Efendi, KCP Panam
- BSM/Bank Syariah Mandiri: 095-7046-370 *Joni Lis Efendi, KCP Panam
Update peserta Lomba LMCR 2013 klik: http://writing-revolution.blogspot.com/2013/09/update-cerpen-peserta-lmcr-2013.html
0
komentar
Posted in
Label:
Memory
Dan catatan ini kembali. Tanpa perlu kutuliskan, sebenarnya aku hampir bisa mengingat semuanya. Tapi karena ingin mengenang semua waktu itulah aku kembali ke masa lalu. Juga karena kejadian tidak terduga yang hadir mengisi lembaran hidupku beberapa menit yang lalu.
Arisan Vol. 7 ...
Arisan Vol. 8 at Bundo hos, kota yang ada di bumi, Tangerang. Kesanku begitu mendalam pada momen itu. Masakan bule bundo dan begitu lezat.. hmm... juga tentang rimbunnya pepohonan ceri liar yang ada di depan rumahnya. Meski jarak rumah bundo yang paling jauh di antara semuanya, tapi potongan kenangan yang ada di sana sangat sepadan untuk membayar semua rasa lelah dan penat. foto yang kami ambil di bawah pohon ceri itu, sesuatu sekali ^^. Jika saja bukan karena jarak rumah bundo yang terlampau jauh, aku dan teman-teman mungkin akan menghabiskan lebih banyak waktu lagi. Mungkin hingga adzan magrib berkumandang. Ketika udara siang yang panas digantikan oleh udara petang yang sejuk dan langit kemerahan.
Sungguh, bertemu dengan mereka di persimpangan jalan ini adalah hal besar yang ku syukuri. Orang yang asing bisa terasa begitu dekat.
Arisan Vol. 9 at Indah hos, Bekasi
Aku benar-benar curiga. Pasti ada takdir benang merah yang terus saja mengikat Mr. A dengan Mr. I. Bahkan hingga aku meninggalkan keduanya pun, mereka masih tetap membayang. Dan ketika perpisahan dengan Mr. I datang, aku tetap harus memilih antara dua. Walaupun berat, hingga aku merasa bersalah karena masih saja memikirkan mereka yang tidak ada di sana. Pantai dan arakan awan di kejauhan pun tak mampu menepis rindu. Sungguh sudah lama sekali aku ingin bertemu dengan crew sepenuh hati. Tapi akupun sudah terlanjur berjanji dengan "keluarga". Sambil memandangi rona matahari senja yang perlahan tenggelam di garis horison, aku membayangkan wajah mereka yang mungkin di sana sedang tertawa. membincangkan hal-hal tidak penting seperti biasanya. Ini adalah momen pertama dengan Mr.A yang kulewatkan. Jika saja, deburan ombak mampu membawa salam ku untuk mereka.
Arisan Vol. 10 at Ridho hos, seberang kampus ^^
Dan kupikir ini untuk kedua kalinya aku absen. Sebenarnya tidak terkatakan lagi sedihnya hati karena tidak dapat pergi. Tapi juga ada sedikit rasa tidak ingin pergi. Semua alasan yang berputar hebat di kepala. Sampai-sampai membuat terjaga semalam sebelumnya, berharap hari berlalu secepat tiupan angin. Atau berharap ada keajaiban yang tidak berani untuk kupikirkan.
Siapa sangka? Aku tidak bertemu dengan mereka, tapi mereka sendiri yang datang menemuiku. Kunjungan tak terduga dari crew sepenuh hati.
Langkah kaki yang memburu untuk segera pulang begitu mendapat pesan singkat yang rasanya seperti mimpi. Ini seharusnya jadi arisan yang menyenangkan di rumah Ridho, tapi entah kenapa kini jadi membaginya denganku. Jikalau bisa, pasti wajahku akan terus tersenyum sepanjang waktu tadi. Tapi pasti akan terlihat aneh.
Aku begitu rindu dengan mereka. Perbincangan nostalgia yang keluar, tawa yang sudah lama tidak kudengar, cerita menyenangkan yang sudah lama tidak mengisi hari.
Masing-masing masih menjadi seseorang yang kukenal. Hanya saja kini mereka sudah melangkah jauh pergi, sementara aku masih berjalan setapak demi setapak. Aku ingin juga segera menyusul mereka, menyejajari langkahnya. Entah apa yang akan terjadi di depan sana. Aku tidak peduli. Waktu yang kulewati saat ini bersama mereka lebih berharga dari apapun.
Sesuatu yang nyata kadang ada pada hal yang luput dari perhatian. Mungkin saja kita pernah merasa tidak pernah memiliki sesiapapun di dunia ini yang perhatian, namun bersediakah kau mendengar lebih banyak. Ketika kau berhenti sejenak dan menengok ke sebelahmu, mereka, sahabat, akan selalu ada di sana. Memberikan dorongan dengan cara-cara yang mungkin tidak dapat kau pahami.
Arisan vol. terakhir. Apakah kita akan bisa menyaksikan terbenamnya pantai di bagian tengah Indonesia? Ataukah kita akan merangkul ransel di pundak dan bertualang laiknya yang sering kita lakukan di waktu-waktu yang lalu? Ataukah kita akan menikmati sajian istimewa yang tersaji di meja panjang? Ataukah hanya sekedar berbagi cerita sambil menikmati sisi lain ibukota?
Aku masih belum tahu. Kisah ini mungkin masih akan berlanjut. Entahlah.
0
komentar
Posted in
Label:
SF,
story
06
Desember 2011, 17:56
Gema Adzan maghrib sudah terdengar samar-samar dari dalam bus. Hari sudah beranjak sore saat aku memutuskan untuk pulang dari bandara. Gerimis mulai turun perlahan.
Juni 2006, Perpisahan SMP
Pagi itu aku dan teman-teman begitu sibuk mempersiapkan diri untuk penampilan persembahan kami dalam upacara perpisahan. Masing-masing mengenakan busana terbaiknya, tak ketinggalan empat sahabat baikku, Nadin, Dian, Ana, dan Eha pun terlihat begitu cantik. Aku melihat ke sekeliling, sahabat yang paling dekat denganku, Vivi, belum kunjung datang. Ini sudah hampir pukul sepuluh pagi. Sebentar lagi upacara akan dimulai. Vivi kemana? batinku.
“Zi, lagi cari siapa?” Nadin bertanya sambil menepuk pundakku.
Hatiku serasa mencelos, sesak sekali tenggorokan ini menahan rasa ingin menangis. Aku ingin sekali marah, alih-alih kedua mataku justru membentuk bendungan air yang sangat sulit untuk kutahan. Satu dua airmata pun turun. Nadin menepuk-nepuk pundakku. “Zi, kamu tidak apa-apa?”
Beberapa menit kemudian, pembawa acara memintaku untuk naik ke atas panggung dan menyampaikan pidato. Tanganku bergetar hebat. Kucoba untuk menarik napas panjang-panjang sebelum aku memulai rangkaian kata-kata perpisahan itu.
“…, Terimakasih untuk Bapak dan Ibu guru yang telah mendampingi kami selama tiga tahun ini. Kalian yang tidak pernah lelah untuk mengingatkan kami kepada hal yang baik. Melihat kami bertumbuh. Mohon maaf atas semua kesalahan dan kenakalan yang pernah kami lakukan. Jasa-jasamu tidak akan pernah kami lupakan. Untuk segenap teman-teman, terimakasih untuk kebersamaannya selama tiga tahun ini. Semoga kelak silaturahim di antara kita tetap terjaga,”
Aku mengakhiri pidato lalu turun dari panggung dan bergabung kembali bersama teman-teman. Suara tepukan tangan mengiringi usainya pembacaan pidato tersebut. Suara bahagia dari semua orang di sana tidak sanggup untuk menghilangkan rasa sedih yang menggantung ini.
“Berikutnya kita akan memanggil satu per satu dari lulusan sekolah kita yang mendapatkan penghargaan 1,2,3 sebagai siswa terbaik di kelasnya dan di angkatan. Silahkan maju ke atas panggung bagi yang namanya disebut,” umum pembawa acara.
Berturut-turut para siswa yang dipanggil maju ke depan. Aku dan Nadin, ikut maju ke atas panggung. Terakhir nama Vivi juga disebut. Dalam hati aku masih berharap Vivi akan muncul dan bergabung di atas bersama kami. Tapi nihil.
Pembawa acara yang adalah guru perpustakaan kami memanggil-manggil nama Vivi untuk menerima hadiah. Nadin pun mendekati Guru yang akrab disapa Bu Ika dan mengatakan bahwa Vivi tidak datang ke acara. Bu Ika pun mempersilahkan Nadin untuk menerima hadiah tersebut mewakili Vivi. Tapi Nadin langsung mendorongku dan memintaku untuk menerimanya dan menyimpan hadiah tersebut untuk Vivi.
“Vi, jika kau ada di sini, maka semuanya akan baik-baik saja,” gumamku dalam hati saat menerima hadiah milik Vivi.
Acara perpisahan pun ditutup dengan lagu persembahan dari angkatan kami. Satu bulan yang lalu kami berlatih lagu itu di sana, Vivi juga ada bersama kami. Lagu yang kami latih bersama, tapi hari ini Vivi tidak ada untuk menyanyikannya bersama kami.
06 Desember 2011, 18.00
Ketika harapan membumbung begitu tinggi untuk bisa bertemu dengan sahabat yang berharga. Seseorang yang sudah tidak bertemu enam tahun lamanya denganmu. Dan selama enam tahun itu kau terus menyimpan keinginan untuk sekedar melepas kerinduan dengannya. Tapi hari pertemuan yang dinantikan justru berubah menjadi kenyataan yang pahit. Akhirnya pun hari terbaik yang dulu sama-sama kami percayai bukanlah hari itu. Aku kembali percaya, mungkin ada suatu hari yang sudah ditakdirkan untuk kami bertemu. Entah kapan.
Bagaimana jika umurku tidak sampai ketika hari terbaik itu tiba? Pahit karena jarak kami hanya terpisah beberapa meter. Aku sudah menunggu dengan penuh harap sejak pukul dua siang. Meninggalkan semua rutinitasku sesaat, membongkar uang tabungan yang seyogyanya kupakai untuk membeli buku kuliah semester depan. Semua itu kulakukan agar aku dapat bertemu dengan sahabat lama, yang sangat istimewa.
Hadiah istimewa yang sudah kusiapkan untuknya sudah tidak berarti lagi. Sejak pukul dua siang aku menunggu di terminal A kedatangan dalam negeri. Ini pengalaman pertama bagiku pergi ke bandara seorang diri. Aku khawatir tidak dapat menemukan Vivi karena salah tempat dan sebagainya. Berputar dan berjalan tak tentu arah memastikan bahwa itu terminal yang tepat. Terus tak sabar melihat detak detik jam di dinding. Terus memerhatikan jadwal landing pesawat dari Jogjakarta.
Sesekali bolak-balik ke toilet bandara sekedar untuk merapihkan penampilan karena ingin terlihat sempurna di depan sahabat lama. Bermacam orang berseliweran di sekitarku. Para pramugari dari salah satu maskapai penerbangan swasta tampak cantik dan anggun dengan seragam yang dikenakannya. Tak jauh dari sana terlihat beberapa pria dengan seragam khas pilot sedang membincangkan sesuatu dengan bahasa yang hanya dapat dipahami antara mereka saja.
Pukul 15.30, seharusnya pesawat yang membawa Vivi dari Jogjakarta sudah tiba. Tapi belum ada tanda-tanda kedatangannya. Baterai ponselku juga hampir lemah. Aku khawatir kalau-kalau tidak dapat mengangkat telepon darinya untuk bertemu. Aku tidak ingin kejadian yang sama terulang, saat perpisahan SMP dulu. Ketika Vivi tidak bisa berpamitan kepadaku hanya karena baterai handphone-ku yang sedang lemah. Tidak untuk kali ini.
Waktu berlalu bagai memburu, aku mencoba mengusir rasa lapar dengan sebungkus roti isi coklat dan sebotol air mineral dari minimarket di dekat lorong yang menuju ruang terbatas yang hanya dapat dimasuki oleh yang berkepentingan. Dimana Vivi, gumamku pada diri sendiri. Tidak ada yang bisa aku ajak bicara di sana. Sebuah novel yang kubawa sebagai pembunuh penat juga tidak banyak membantu karena pikiranku lebih tertuju pada Vivi.
Namun, akhirnya aku hanya membawa pulang kekecewaan. Sampai pukul 17.00 Vivi tak kunjung datang ataupun menghubungiku. Sementara jadwal yang sedari tadi kupandangi sudah tidak memuat lagi waktu kedatangan pesawat dari Jogjakarta. Kutelan bulat-bulat rasa itu. Berpikir positif dan kembali berharap. Pikiran kalutku saat itu membuatku hanya bisa menangis tersedu sedan.
06 Desember 2011, 19.15
Butiran bening itu tumpah ruah di dalam bus DAMRI yang kutumpangi. Tak kupedulikan lagi orang-orang di sekeliling yang mungkin sedang menatap aneh ke arahku saat ini. Inilah yang sejak awal selalu membuatku takut. Takut bila angan itu terlalu indah untuk menjadi nyata.
Aku sengaja memilih tempat duduk dekat jendela di sisi sebelah kanan dengan maksud agar aku bisa menatap keluar dan menumpahkan kesedihanku tanpa disadari oleh siapapun. Pendar cahaya dari sorot lampu mobil-mobil yang berada di samping bus terlihat buram karena kaca jendela yang basah oleh hujan. Sejak kepulanganku dari bandara setengah jam yang lalu, hujan mengguyur deras kota Jakarta. Aku sudah tidak memedulikan lagi bagaimana cuaca di luar, karena di dalam hatiku tak ubahnya seperti hujan ini. Sesak sekali rasanya.
Sekali dua kali ku usap airmata yang menetes di pipi. Ketika bus memasuki jalan tol dalam kota yang padat merayap, kondektur bus mulai berkeliling untuk meminta uang tiket dari para penumpang. Satu per satu hingga tiba di barisan kursiku. Orang yang duduk di sebelahku memberikan selembar uang 20.000 kepada sang kondektur, dan akupun melakukan hal yang sama dengan menyodorkan uang berwarna hijau itu. Tanganku yang gemetar tidak dapat kusembunyikan.
Untuk sesaat pandanganku bertemu dengan orang yang duduk di sebelah. Dia seorang laki-laki, berpakaian ala eksekutif muda. Mungkin habis melakukan perjalanan bisnis, berbeda sekali denganku yang mengenakan baju kasual ala mahasiswa. Aku sebenarnya sungguh berharap tiada sesiapapun yang menempati tempat duduk kosong di sebelahku. Padahal kursi di barisan depan dan belakang masih banyak yang kosong, batinku.
Di dalam bus aku kembali teringat dengan surat pertama yang dikirimkan oleh Vivi satu tahun setelah acara kelulusan SMP kami. Tidak terkatakan betapa buncahnya bahagiaku saat itu. Setelah hampir satu tahun tidak pernah menerima kabar darinya. Aku membuka amplop surat itu dengan perlahan agar tidak merobek bagian dalam surat. Kata-kata dalam suratnya tidak terlalu kuingat. Namun aku selalu menyimpan dalam hati tulisan Vivi, bahwa suatu saat kita pasti akan bertemu. Di hari terbaik yang sudah dijanjikan Tuhan untuk pertemuan itu. Dan hari itu pasti akan datang.
Sejenak aku menghela napas, hari itu bukanlah hari ini.
Di antara kami berenam, Vivi-lah yang paling dekat denganku. Sejak sekolah dasar aku tidak pernah punya sahabat dekat. Aku cenderung pendiam dan menutup diri dari orang lain. Aku sering duduk sendiri di kelas, tak ada teman sebangku. Setiap jam pelajaran berakhir yang kulakukan adalah cepat-cepat memacu langkah agar sampai di rumah.
Sampai di kelas dua SMP saat aku berada di satu regu “Paskibra Angsa Emas” SMP kami. Saat itu aku ditugaskan sebagai pembawa baki di upacara karena salah satu dari tiga “dewi” pengarak bendera tidak masuk sekolah sebab sakit. Dalam latihan yang berat dan panas matahari yang begitu terik, tiba-tiba saja pandanganku menjadi kabur dan tidak sadarkan diri. Ketika tersadar aku melihat Nadin juga Vivi sedang menjagaku di ruang UKS (Unit Kesehatan sekolah). Itulah kali pertama aku berteman baik dengan Vivi yang adalah teman sebangku Nadin di kelas 2.3. Kelas yang sama dengan kelasku.
Aku tidak pernah lupa bagaimana kami selalu menghabiskan waktu bersama sepulang sekolah. Menjadi “penunggu” sekolah hingga sepi dan adzan maghrib berkumandang dari masjid besar yang terletak di dalam kompleks sekolah. Basecamp favorit kami adalah bagian belakang masjid yang tertutup oleh pembatas kain berwarna hijau. Di sana kami bisa menceritakan apapun dan tidak pernah kehabisan topik pembicaraan. Sampai sekarang jika sekali waktu aku berkunjung ke masjid itu, aku masih bisa membayangkan dengan jelas bayangan teman-teman di sana.
Sesekali Dian, Ana, dan Eha bergabung bersama kami. Kami berenam dikenal sebagai satu “geng”. Di masa itu, hal semacam “geng” adalah biasa. Tapi “geng” ini terbentuk karena ketidaksengajaan. Dian dan Ana adalah temanku di kelas satu. Selepas kelas dua, pertemanan kami semakin akrab dan akupun berkenalan dengan teman sebangku Dian yaitu Eha. Begitulah persahabatan ini terjalin. Tapi aku tidak suka bila kami dipanggil sebagai “geng” karena persahabatan sejati lebih dari itu.
06 Desember 2011, 20.00
Kepalaku terasa berat dan pusing. Bus DAMRI ini belum juga tiba di terminal tujuan Pasar Minggu. Dari Pasar Minggu aku bermaksud melanjutkan perjalanan dengan kereta api sampai ke Depok. Ia tertahan dalam kemacetan di seputar Patung Pancoran. Suara klakson dari mobil dan motor saling bertautan. Hm.. menambah sakit kepala saja, batinku.
Saat melihat jam di tangan kanan, barulah tersadar kalau aku sempat tertidur selepas memberikan uang tiket tadi. Orang berpakaian eksmud (eksekutif muda.red) di sampingku sudah tidak ada, mungkin dia sudah turun di perempatan jalan di bawah flyover Pancoran. Sekilas, aku teringat suara gaduh Pak kondektur mengingatkan para penumpang yang ingin turun di sana. Ya, ini lebih baik. Setidaknya sekarang kursi ini milikku seorang.
Sambil bertopang dagu dengan tangan kanan, aku menghapus embun hujan yang ada di kaca bus. Sejenak mata ini terpaku pada gelang manik-manik dengan untaian warna hitam, merah, dan sebuah manik besar warna kuning di tengahnya yang terpasang ajeg di tangan kananku.
Sudah berapa tahun ya gelang itu ada di sana? Kira-kira sudah empat tahun gelang itu terpasang di pergelangan tanganku. Waktu duduk di kelas 3 SMA, gelang itu sempat rusak dan putus. Aku begitu panik karena khawatir tidak bisa memperbaikinya, Syukurlah, akhirnya gelang itu bisa kembali seperti semula. Hanya saja kini gelang itu terikat simpul mati yang sulit untuk dibuka. Jadilah gelang itu menemaniku melewati semua momen dalam tahun-tahun kehidupanku sampai sekarang. Seakan Vivi masih ada di sini menemaniku. Menjalani hari seperti apa yang sering Vivi katakan padaku dalam surat-suratnya, “Bersemangatlah pada apa yang baik dan bermanfaat bagimu, Zi”.
Kadang bila aku membutuhkan teman untuk diajak bicara tapi tidak ada siapapun di sana, aku akan berbicara pada gelang ini. Gelang ini menyimpan banyak arti untukku. Aku berpikir tidak akan pernah melepaskannya sampai nanti aku bertemu dengan Vivi kembali. Dia selalu mengatakan kalau aku ini seorang yang ceroboh karena selalu saja menghilangkan barang-barang atau merusakkannya. Aku ingin menunjukkan gelang ini padanya, agar ia tahu bahwa aku menjaga hadiah darinya dengan baik.
Vivi, sedang apa ya dia di sana? Apakah dia sudah sampai? ucapku pada udara di sekitar.
Vivi adalah sahabat yang unik. Di antara kami berenam, Vivi yang paling tinggi. Sampai-sampai ada beberapa dari pintu di ruang kelas yang harus dilewatinya dengan sedikit menunduk. Ukuran sepatunya juga raksasa. Tapi di antara kami, Vivi memang seorang “Bunga”. Tinggi semampai dengan wajah yang cantik.
Ia juga satu-satunya sahabat yang selalu setia mendengarkan ocehanku tentang cerita-cerita fantasi yang sering aku karang sebelum menuliskannya di atas kertas, lantas meminta pendapatnya tentang cerita itu. Setiap ada kesempatan untuk menginap di salah satu rumah dari kami, Vivi akan langsung memintaku untuk melanjutkan cerita atau mengisahkan padanya cerita yang baru. Ia selalu senang aku ceritakan bagian di mana Vivi menjadi tokoh utamanya. Hingga detik ini, hanya Vivi seorang yang menjadi pendengar dan pembaca setia semua ceritaku.
Sekali waktu, sepulangnya dari acara studi wisata sekolah, aku, Nadin, dan Dian berkumpul bersama di rumah Nadin. Di sana juga ada Vivi. ia tidak bisa ikut di acara tersebut karena kondisi ekonomi keluarganya yang kurang baik. Aku belum menyadarinya saat itu. Aku baru sadar setelah kami berpisah dan lulus dari SMP dan menyadari bahwa Vivi memang tidak pernah ikut serta dalam acara-acara semacam itu.
Aku memberinya oleh-oleh sebuah boneka beruang berwarna kuning. Dengan candaan khasnya Vivi justru berkata, “Zi, apa benar kau membayangkan aku ketika membeli boneka ini? Wajahnya tidak secantik aku dan dia berwarna kuning. Ini lebih cocok untukmu, hehe…” ucap Vivi sembari memeluk boneka bulu itu. Lalu ia melanjutkan, “tapi terimakasih ya, karena kamu masih mengingatku di sana,” Vivi mengatakan itu dengan senyum.
Banyak waktu yang kami lewati bersama. Seperti saat berkunjung ke rumah Nadin. Di sana kami sering mengadakan sesi “curhat” dadakan. Sehabis menyantap makan siang sederhana dengan gado-gado, aku memutar stasiun radio yang jadi favorit kami bertiga. Sembari menunggu Nadin menyelesaikan piket harian rumahnya, aku menggambar sebuah karakter di atas sketch book sementara Vivi asyik menyimak celotehan penyiar radio dan sesekali membolak-balik buku tugas yang seharusnya kami kerjakan.
Di tengah-tengah siaran, sebuah lagu diputar sebagai request. Lagu itu berjudul “Hadiah untuk mama”. Tanpa kusadari airmataku menetes saat mendengarnya. Vivi panik dan menepuk-nepuk pundakku untuk menenangkanku. Ia lalu bersedia mendengarkan keluh kesah dan rasa kangenku pada Ayah dan Ibu yang sudah lama tidak kutemui. Vivi selalu ada saat aku butuhkan.
Waktu menunjukkan pukul 21.00. Bus yang aku tumpangi sudah menepikan kendaraannya ke sisi kiri jalan. Karena malam sudah larut, Bus tidak berhenti di terminal dan langsung pulang ke Pool Bus segera setelah menurunkan penumpang terakhirnya.
Udara malam itu lumayan menusuk kulit, udara setelah hujan. Aku bergegas menuju stasiun kereta api Pasar Minggu. Tapi semua jadwal keberangkatan kereta kacau karena ada kereta ekonomi yang mogok di stasiun Universitas Pancasila. Mau tidak mau aku terpaksa memilih alternatif kendaraan lain. Tapi di jam itu angkutan kota (angkot.red) 04 jurusan Depok sudah jarang dan sekalinya ada, pasti sudah penuh ketika sampai di halte pemberhentian Pasar Minggu.
Hal ini mulai membuatku frustasi. Setelah kejadian di bandara dan sekarang keadaan ini membuatku merasa ini adalah skenario yang sangat sempurna untuk menjadi penutup segala kemalanganku di hari itu. Sambil sesekali menyeka airmata di pelupuk, aku berjalan melawan arah untuk menemukan angkot yang belum terlalu penuh.
10 Desember 2011, 23.00
Empat hari sudah terlewati, tapi yang kurasakan kesedihan itu seperti sudah berlalu sangat lama, seperti sudah lewat berminggu-minggu yang lalu. Rasa sedih yang perlahan terlupakan dengan obat paling mujarab sedunia, tidur yang panjang. Aku seperti seseorang yang terkena amnesia. Aku tidak bisa mengingat kembali dengan jelas apa yang sudah kulewati empat hari ke belakang. Bagaimana bisa? Tak ada jawaban.
Aku melihat kembali surat-surat yang dikirimkan Vivi untukku. Semarah apapun aku padanya, aku tetap tidak bisa membencinya karena ia sahabatku. Kenangan saat kami sama-sama menari dan bernyanyi bak superstar lewat radio tape yang memutar lagu favorit. Atau ketika kami saling berlomba mengirimkan lagu request dan menebak siapa yang lagunya lebih dulu diputar. Semua itu selalu dapat membuat senyum dan tawa kecil terbentuk di wajahku.
Dalam salah satu suratnya Vivi menulis,
07 Desember 2011, tiga hari sebelumnya.
Message received from Vivi, 05:47:46,
14 Desember 2011, seminggu setelah janji pertemuan itu berlalu.
Pada akhirnya aku tahu, alasan yang membuat Vivi tidak bisa menemuiku. Dan aku juga paham, setelah ini mungkin akan sangat sulit berkomunikasi dengannya. Itu karena segalanya telah berbeda sekarang. Vivi memiliki kehidupan baru yang jauh berbeda denganku serta tanggung jawab yang lebih besar.
Entah kapan, hari di mana aku bisa bertemu dengannya. Sampai kita bertemu kembali. Hari di mana aku bisa menyerahkan secara langsung hadiah untuknya saat perpisahan SMP dulu yang hingga kini masih aku simpan dengan baik. Dan menunjukkan gelang pemberian darinya yang telah aku jaga dengan sepenuh hatiku. Aku akan meyakini hal ini dengan segenap hatiku.
Setidaknya, salah satu mimpiku untuk bisa pergi ke bandara dengan menumpang Bus DAMRI sudah terwujud. Tapi pengalaman pertama berkunjung ke sana kenapa harus meninggalkan rasa sedih ini? Benar kata orang, bandara itu selalu bisa menggoreskan banyak kisah. Kisah tentang pertemuan, kisah tentang cinta, kisah tentang penyesalan, kisah tentang perpisahan. Sayangnya kali ini aku mengalami yang terakhir itu.
Semoga suatu hari nanti, di tempat yang sama pula, aku bisa membawa pulang sebuah senyuman.
PS: Untuk sahabat kecilku, di manapun ia berada kini. Darinya aku memahami kehangatan sebuah persahabatan. (Salam dari Lizzie untuk ferreira)