06
Desember 2011, 17:56
Gema Adzan maghrib sudah terdengar samar-samar dari dalam bus. Hari sudah beranjak sore saat aku memutuskan untuk pulang dari bandara. Gerimis mulai turun perlahan.
“Vi telepon kok ga ada suaranya, Zi? Sekarang
Vivi baru aja sampai di bandara Lampung. Maaf, ini takdirNya kita belum bisa
ketemu saat ini. Semoga bisa lain kali ya..”
Air mata sudah tidak sanggup lagi
kutahan. Hari itu, aku menangis sejadi-jadinya ketika membaca pesan singkat
yang terpampang di layar handphone-ku.
Air mata yang berusaha kutahan sejak keluar dari Bandara Internasional
Soekarno-Hatta.
~ ~ ~
Juni 2006, Perpisahan SMP
Pagi itu aku dan teman-teman begitu sibuk mempersiapkan diri untuk penampilan persembahan kami dalam upacara perpisahan. Masing-masing mengenakan busana terbaiknya, tak ketinggalan empat sahabat baikku, Nadin, Dian, Ana, dan Eha pun terlihat begitu cantik. Aku melihat ke sekeliling, sahabat yang paling dekat denganku, Vivi, belum kunjung datang. Ini sudah hampir pukul sepuluh pagi. Sebentar lagi upacara akan dimulai. Vivi kemana? batinku.
“Zi, lagi cari siapa?” Nadin bertanya sambil menepuk pundakku.
“Aku sedang menunggu Vivi, Na,” aku
terus menengok ke sana dan kemari, “Vivi kok belum sampai ya, Na? Sebentar lagi
mau mulai,” mataku bertemu dengan mata Nadin.
Raut wajah Nadin tiba-tiba menjadi
aneh, “Zi, Vivi gak akan datang,” ucapannya barusan benar-benar membuatku
tersentak dan meminta penjelasan dari Nadin,
“Maksudmu?” desakku meminta jawaban.
Nadin menghela napasnya dengan
berat, “Semalam, Vivi sekeluarga sudah bertolak ke Jogjakarta, Zi. Vivi pindah
dan melanjutkan sekolah ke sana. Dia tidak sempat memberitahumu karena handphonemu semalam tidak bisa
dihubungi,”
Hatiku serasa mencelos, sesak sekali tenggorokan ini menahan rasa ingin menangis. Aku ingin sekali marah, alih-alih kedua mataku justru membentuk bendungan air yang sangat sulit untuk kutahan. Satu dua airmata pun turun. Nadin menepuk-nepuk pundakku. “Zi, kamu tidak apa-apa?”
Aku hanya menggeleng pelan. Sebentar
lagi aku harus membawakan pidato perpisahan sebagai perwakilan dari angkatan
kami. Sekuat tenaga aku berusaha untuk menenangkan diri. Tapi bayanganku terus
tertuju pada Vivi, memutar semua kenangan yang pernah kami lalui bersama selama
tiga tahun ini.
Beberapa menit kemudian, pembawa acara memintaku untuk naik ke atas panggung dan menyampaikan pidato. Tanganku bergetar hebat. Kucoba untuk menarik napas panjang-panjang sebelum aku memulai rangkaian kata-kata perpisahan itu.
“…, Terimakasih untuk Bapak dan Ibu guru yang telah mendampingi kami selama tiga tahun ini. Kalian yang tidak pernah lelah untuk mengingatkan kami kepada hal yang baik. Melihat kami bertumbuh. Mohon maaf atas semua kesalahan dan kenakalan yang pernah kami lakukan. Jasa-jasamu tidak akan pernah kami lupakan. Untuk segenap teman-teman, terimakasih untuk kebersamaannya selama tiga tahun ini. Semoga kelak silaturahim di antara kita tetap terjaga,”
Aku mengakhiri pidato lalu turun dari panggung dan bergabung kembali bersama teman-teman. Suara tepukan tangan mengiringi usainya pembacaan pidato tersebut. Suara bahagia dari semua orang di sana tidak sanggup untuk menghilangkan rasa sedih yang menggantung ini.
“Berikutnya kita akan memanggil satu per satu dari lulusan sekolah kita yang mendapatkan penghargaan 1,2,3 sebagai siswa terbaik di kelasnya dan di angkatan. Silahkan maju ke atas panggung bagi yang namanya disebut,” umum pembawa acara.
Berturut-turut para siswa yang dipanggil maju ke depan. Aku dan Nadin, ikut maju ke atas panggung. Terakhir nama Vivi juga disebut. Dalam hati aku masih berharap Vivi akan muncul dan bergabung di atas bersama kami. Tapi nihil.
Pembawa acara yang adalah guru perpustakaan kami memanggil-manggil nama Vivi untuk menerima hadiah. Nadin pun mendekati Guru yang akrab disapa Bu Ika dan mengatakan bahwa Vivi tidak datang ke acara. Bu Ika pun mempersilahkan Nadin untuk menerima hadiah tersebut mewakili Vivi. Tapi Nadin langsung mendorongku dan memintaku untuk menerimanya dan menyimpan hadiah tersebut untuk Vivi.
“Vi, jika kau ada di sini, maka semuanya akan baik-baik saja,” gumamku dalam hati saat menerima hadiah milik Vivi.
Acara perpisahan pun ditutup dengan lagu persembahan dari angkatan kami. Satu bulan yang lalu kami berlatih lagu itu di sana, Vivi juga ada bersama kami. Lagu yang kami latih bersama, tapi hari ini Vivi tidak ada untuk menyanyikannya bersama kami.
~ ~ ~
06 Desember 2011, 18.00
Ketika harapan membumbung begitu tinggi untuk bisa bertemu dengan sahabat yang berharga. Seseorang yang sudah tidak bertemu enam tahun lamanya denganmu. Dan selama enam tahun itu kau terus menyimpan keinginan untuk sekedar melepas kerinduan dengannya. Tapi hari pertemuan yang dinantikan justru berubah menjadi kenyataan yang pahit. Akhirnya pun hari terbaik yang dulu sama-sama kami percayai bukanlah hari itu. Aku kembali percaya, mungkin ada suatu hari yang sudah ditakdirkan untuk kami bertemu. Entah kapan.
Bagaimana jika umurku tidak sampai ketika hari terbaik itu tiba? Pahit karena jarak kami hanya terpisah beberapa meter. Aku sudah menunggu dengan penuh harap sejak pukul dua siang. Meninggalkan semua rutinitasku sesaat, membongkar uang tabungan yang seyogyanya kupakai untuk membeli buku kuliah semester depan. Semua itu kulakukan agar aku dapat bertemu dengan sahabat lama, yang sangat istimewa.
Hadiah istimewa yang sudah kusiapkan untuknya sudah tidak berarti lagi. Sejak pukul dua siang aku menunggu di terminal A kedatangan dalam negeri. Ini pengalaman pertama bagiku pergi ke bandara seorang diri. Aku khawatir tidak dapat menemukan Vivi karena salah tempat dan sebagainya. Berputar dan berjalan tak tentu arah memastikan bahwa itu terminal yang tepat. Terus tak sabar melihat detak detik jam di dinding. Terus memerhatikan jadwal landing pesawat dari Jogjakarta.
Sesekali bolak-balik ke toilet bandara sekedar untuk merapihkan penampilan karena ingin terlihat sempurna di depan sahabat lama. Bermacam orang berseliweran di sekitarku. Para pramugari dari salah satu maskapai penerbangan swasta tampak cantik dan anggun dengan seragam yang dikenakannya. Tak jauh dari sana terlihat beberapa pria dengan seragam khas pilot sedang membincangkan sesuatu dengan bahasa yang hanya dapat dipahami antara mereka saja.
Pukul 15.30, seharusnya pesawat yang membawa Vivi dari Jogjakarta sudah tiba. Tapi belum ada tanda-tanda kedatangannya. Baterai ponselku juga hampir lemah. Aku khawatir kalau-kalau tidak dapat mengangkat telepon darinya untuk bertemu. Aku tidak ingin kejadian yang sama terulang, saat perpisahan SMP dulu. Ketika Vivi tidak bisa berpamitan kepadaku hanya karena baterai handphone-ku yang sedang lemah. Tidak untuk kali ini.
Waktu berlalu bagai memburu, aku mencoba mengusir rasa lapar dengan sebungkus roti isi coklat dan sebotol air mineral dari minimarket di dekat lorong yang menuju ruang terbatas yang hanya dapat dimasuki oleh yang berkepentingan. Dimana Vivi, gumamku pada diri sendiri. Tidak ada yang bisa aku ajak bicara di sana. Sebuah novel yang kubawa sebagai pembunuh penat juga tidak banyak membantu karena pikiranku lebih tertuju pada Vivi.
Namun, akhirnya aku hanya membawa pulang kekecewaan. Sampai pukul 17.00 Vivi tak kunjung datang ataupun menghubungiku. Sementara jadwal yang sedari tadi kupandangi sudah tidak memuat lagi waktu kedatangan pesawat dari Jogjakarta. Kutelan bulat-bulat rasa itu. Berpikir positif dan kembali berharap. Pikiran kalutku saat itu membuatku hanya bisa menangis tersedu sedan.
~ ~ ~
06 Desember 2011, 19.15
Butiran bening itu tumpah ruah di dalam bus DAMRI yang kutumpangi. Tak kupedulikan lagi orang-orang di sekeliling yang mungkin sedang menatap aneh ke arahku saat ini. Inilah yang sejak awal selalu membuatku takut. Takut bila angan itu terlalu indah untuk menjadi nyata.
Aku sengaja memilih tempat duduk dekat jendela di sisi sebelah kanan dengan maksud agar aku bisa menatap keluar dan menumpahkan kesedihanku tanpa disadari oleh siapapun. Pendar cahaya dari sorot lampu mobil-mobil yang berada di samping bus terlihat buram karena kaca jendela yang basah oleh hujan. Sejak kepulanganku dari bandara setengah jam yang lalu, hujan mengguyur deras kota Jakarta. Aku sudah tidak memedulikan lagi bagaimana cuaca di luar, karena di dalam hatiku tak ubahnya seperti hujan ini. Sesak sekali rasanya.
Sekali dua kali ku usap airmata yang menetes di pipi. Ketika bus memasuki jalan tol dalam kota yang padat merayap, kondektur bus mulai berkeliling untuk meminta uang tiket dari para penumpang. Satu per satu hingga tiba di barisan kursiku. Orang yang duduk di sebelahku memberikan selembar uang 20.000 kepada sang kondektur, dan akupun melakukan hal yang sama dengan menyodorkan uang berwarna hijau itu. Tanganku yang gemetar tidak dapat kusembunyikan.
Untuk sesaat pandanganku bertemu dengan orang yang duduk di sebelah. Dia seorang laki-laki, berpakaian ala eksekutif muda. Mungkin habis melakukan perjalanan bisnis, berbeda sekali denganku yang mengenakan baju kasual ala mahasiswa. Aku sebenarnya sungguh berharap tiada sesiapapun yang menempati tempat duduk kosong di sebelahku. Padahal kursi di barisan depan dan belakang masih banyak yang kosong, batinku.
Di dalam bus aku kembali teringat dengan surat pertama yang dikirimkan oleh Vivi satu tahun setelah acara kelulusan SMP kami. Tidak terkatakan betapa buncahnya bahagiaku saat itu. Setelah hampir satu tahun tidak pernah menerima kabar darinya. Aku membuka amplop surat itu dengan perlahan agar tidak merobek bagian dalam surat. Kata-kata dalam suratnya tidak terlalu kuingat. Namun aku selalu menyimpan dalam hati tulisan Vivi, bahwa suatu saat kita pasti akan bertemu. Di hari terbaik yang sudah dijanjikan Tuhan untuk pertemuan itu. Dan hari itu pasti akan datang.
Sejenak aku menghela napas, hari itu bukanlah hari ini.
Di antara kami berenam, Vivi-lah yang paling dekat denganku. Sejak sekolah dasar aku tidak pernah punya sahabat dekat. Aku cenderung pendiam dan menutup diri dari orang lain. Aku sering duduk sendiri di kelas, tak ada teman sebangku. Setiap jam pelajaran berakhir yang kulakukan adalah cepat-cepat memacu langkah agar sampai di rumah.
Sampai di kelas dua SMP saat aku berada di satu regu “Paskibra Angsa Emas” SMP kami. Saat itu aku ditugaskan sebagai pembawa baki di upacara karena salah satu dari tiga “dewi” pengarak bendera tidak masuk sekolah sebab sakit. Dalam latihan yang berat dan panas matahari yang begitu terik, tiba-tiba saja pandanganku menjadi kabur dan tidak sadarkan diri. Ketika tersadar aku melihat Nadin juga Vivi sedang menjagaku di ruang UKS (Unit Kesehatan sekolah). Itulah kali pertama aku berteman baik dengan Vivi yang adalah teman sebangku Nadin di kelas 2.3. Kelas yang sama dengan kelasku.
Aku tidak pernah lupa bagaimana kami selalu menghabiskan waktu bersama sepulang sekolah. Menjadi “penunggu” sekolah hingga sepi dan adzan maghrib berkumandang dari masjid besar yang terletak di dalam kompleks sekolah. Basecamp favorit kami adalah bagian belakang masjid yang tertutup oleh pembatas kain berwarna hijau. Di sana kami bisa menceritakan apapun dan tidak pernah kehabisan topik pembicaraan. Sampai sekarang jika sekali waktu aku berkunjung ke masjid itu, aku masih bisa membayangkan dengan jelas bayangan teman-teman di sana.
Sesekali Dian, Ana, dan Eha bergabung bersama kami. Kami berenam dikenal sebagai satu “geng”. Di masa itu, hal semacam “geng” adalah biasa. Tapi “geng” ini terbentuk karena ketidaksengajaan. Dian dan Ana adalah temanku di kelas satu. Selepas kelas dua, pertemanan kami semakin akrab dan akupun berkenalan dengan teman sebangku Dian yaitu Eha. Begitulah persahabatan ini terjalin. Tapi aku tidak suka bila kami dipanggil sebagai “geng” karena persahabatan sejati lebih dari itu.
~ ~ ~
06 Desember 2011, 20.00
Kepalaku terasa berat dan pusing. Bus DAMRI ini belum juga tiba di terminal tujuan Pasar Minggu. Dari Pasar Minggu aku bermaksud melanjutkan perjalanan dengan kereta api sampai ke Depok. Ia tertahan dalam kemacetan di seputar Patung Pancoran. Suara klakson dari mobil dan motor saling bertautan. Hm.. menambah sakit kepala saja, batinku.
Saat melihat jam di tangan kanan, barulah tersadar kalau aku sempat tertidur selepas memberikan uang tiket tadi. Orang berpakaian eksmud (eksekutif muda.red) di sampingku sudah tidak ada, mungkin dia sudah turun di perempatan jalan di bawah flyover Pancoran. Sekilas, aku teringat suara gaduh Pak kondektur mengingatkan para penumpang yang ingin turun di sana. Ya, ini lebih baik. Setidaknya sekarang kursi ini milikku seorang.
Sambil bertopang dagu dengan tangan kanan, aku menghapus embun hujan yang ada di kaca bus. Sejenak mata ini terpaku pada gelang manik-manik dengan untaian warna hitam, merah, dan sebuah manik besar warna kuning di tengahnya yang terpasang ajeg di tangan kananku.
Sudah berapa tahun ya gelang itu ada di sana? Kira-kira sudah empat tahun gelang itu terpasang di pergelangan tanganku. Waktu duduk di kelas 3 SMA, gelang itu sempat rusak dan putus. Aku begitu panik karena khawatir tidak bisa memperbaikinya, Syukurlah, akhirnya gelang itu bisa kembali seperti semula. Hanya saja kini gelang itu terikat simpul mati yang sulit untuk dibuka. Jadilah gelang itu menemaniku melewati semua momen dalam tahun-tahun kehidupanku sampai sekarang. Seakan Vivi masih ada di sini menemaniku. Menjalani hari seperti apa yang sering Vivi katakan padaku dalam surat-suratnya, “Bersemangatlah pada apa yang baik dan bermanfaat bagimu, Zi”.
Kadang bila aku membutuhkan teman untuk diajak bicara tapi tidak ada siapapun di sana, aku akan berbicara pada gelang ini. Gelang ini menyimpan banyak arti untukku. Aku berpikir tidak akan pernah melepaskannya sampai nanti aku bertemu dengan Vivi kembali. Dia selalu mengatakan kalau aku ini seorang yang ceroboh karena selalu saja menghilangkan barang-barang atau merusakkannya. Aku ingin menunjukkan gelang ini padanya, agar ia tahu bahwa aku menjaga hadiah darinya dengan baik.
Vivi, sedang apa ya dia di sana? Apakah dia sudah sampai? ucapku pada udara di sekitar.
Vivi adalah sahabat yang unik. Di antara kami berenam, Vivi yang paling tinggi. Sampai-sampai ada beberapa dari pintu di ruang kelas yang harus dilewatinya dengan sedikit menunduk. Ukuran sepatunya juga raksasa. Tapi di antara kami, Vivi memang seorang “Bunga”. Tinggi semampai dengan wajah yang cantik.
Ia juga satu-satunya sahabat yang selalu setia mendengarkan ocehanku tentang cerita-cerita fantasi yang sering aku karang sebelum menuliskannya di atas kertas, lantas meminta pendapatnya tentang cerita itu. Setiap ada kesempatan untuk menginap di salah satu rumah dari kami, Vivi akan langsung memintaku untuk melanjutkan cerita atau mengisahkan padanya cerita yang baru. Ia selalu senang aku ceritakan bagian di mana Vivi menjadi tokoh utamanya. Hingga detik ini, hanya Vivi seorang yang menjadi pendengar dan pembaca setia semua ceritaku.
Sekali waktu, sepulangnya dari acara studi wisata sekolah, aku, Nadin, dan Dian berkumpul bersama di rumah Nadin. Di sana juga ada Vivi. ia tidak bisa ikut di acara tersebut karena kondisi ekonomi keluarganya yang kurang baik. Aku belum menyadarinya saat itu. Aku baru sadar setelah kami berpisah dan lulus dari SMP dan menyadari bahwa Vivi memang tidak pernah ikut serta dalam acara-acara semacam itu.
Aku memberinya oleh-oleh sebuah boneka beruang berwarna kuning. Dengan candaan khasnya Vivi justru berkata, “Zi, apa benar kau membayangkan aku ketika membeli boneka ini? Wajahnya tidak secantik aku dan dia berwarna kuning. Ini lebih cocok untukmu, hehe…” ucap Vivi sembari memeluk boneka bulu itu. Lalu ia melanjutkan, “tapi terimakasih ya, karena kamu masih mengingatku di sana,” Vivi mengatakan itu dengan senyum.
Banyak waktu yang kami lewati bersama. Seperti saat berkunjung ke rumah Nadin. Di sana kami sering mengadakan sesi “curhat” dadakan. Sehabis menyantap makan siang sederhana dengan gado-gado, aku memutar stasiun radio yang jadi favorit kami bertiga. Sembari menunggu Nadin menyelesaikan piket harian rumahnya, aku menggambar sebuah karakter di atas sketch book sementara Vivi asyik menyimak celotehan penyiar radio dan sesekali membolak-balik buku tugas yang seharusnya kami kerjakan.
Di tengah-tengah siaran, sebuah lagu diputar sebagai request. Lagu itu berjudul “Hadiah untuk mama”. Tanpa kusadari airmataku menetes saat mendengarnya. Vivi panik dan menepuk-nepuk pundakku untuk menenangkanku. Ia lalu bersedia mendengarkan keluh kesah dan rasa kangenku pada Ayah dan Ibu yang sudah lama tidak kutemui. Vivi selalu ada saat aku butuhkan.
Waktu menunjukkan pukul 21.00. Bus yang aku tumpangi sudah menepikan kendaraannya ke sisi kiri jalan. Karena malam sudah larut, Bus tidak berhenti di terminal dan langsung pulang ke Pool Bus segera setelah menurunkan penumpang terakhirnya.
Udara malam itu lumayan menusuk kulit, udara setelah hujan. Aku bergegas menuju stasiun kereta api Pasar Minggu. Tapi semua jadwal keberangkatan kereta kacau karena ada kereta ekonomi yang mogok di stasiun Universitas Pancasila. Mau tidak mau aku terpaksa memilih alternatif kendaraan lain. Tapi di jam itu angkutan kota (angkot.red) 04 jurusan Depok sudah jarang dan sekalinya ada, pasti sudah penuh ketika sampai di halte pemberhentian Pasar Minggu.
Hal ini mulai membuatku frustasi. Setelah kejadian di bandara dan sekarang keadaan ini membuatku merasa ini adalah skenario yang sangat sempurna untuk menjadi penutup segala kemalanganku di hari itu. Sambil sesekali menyeka airmata di pelupuk, aku berjalan melawan arah untuk menemukan angkot yang belum terlalu penuh.
~ ~ ~
10 Desember 2011, 23.00
Empat hari sudah terlewati, tapi yang kurasakan kesedihan itu seperti sudah berlalu sangat lama, seperti sudah lewat berminggu-minggu yang lalu. Rasa sedih yang perlahan terlupakan dengan obat paling mujarab sedunia, tidur yang panjang. Aku seperti seseorang yang terkena amnesia. Aku tidak bisa mengingat kembali dengan jelas apa yang sudah kulewati empat hari ke belakang. Bagaimana bisa? Tak ada jawaban.
Aku melihat kembali surat-surat yang dikirimkan Vivi untukku. Semarah apapun aku padanya, aku tetap tidak bisa membencinya karena ia sahabatku. Kenangan saat kami sama-sama menari dan bernyanyi bak superstar lewat radio tape yang memutar lagu favorit. Atau ketika kami saling berlomba mengirimkan lagu request dan menebak siapa yang lagunya lebih dulu diputar. Semua itu selalu dapat membuat senyum dan tawa kecil terbentuk di wajahku.
Dalam salah satu suratnya Vivi menulis,
“… Dulu kamu satu-satunya teman yang ngelarang keras aku buat nyontek.
Atau buang sampah sembarangan. Atau makan sambil jalan-jalan. Bahkan hanya
tanya 1 terjemahan kata saja dalam bahasa inggris kamu bukannya nyodorin
jawaban tapi malah nyodorin kamus. Dulu aku pikir kamu itu pelit banget sih dan
cerewet, hehe.. jangan marah ya, Zi. Tapi ternyata semua hal itulah yang
terbaik, hingga aku bisa seperti sekarang. Maaf ya untuk semuanya…
… Walaupun aku gabisa di dekat kamu lagi untuk menjadi sahabat yang baik
buat kamu. Tapi di depan masih ada waktu yang penuh harapan. Aku ingin kamu
bisa mendapat teman yang bisa mewujudkan keinginanku. Aku ingin dia lebih baik
dari aku yang dulu. Semoga Allah memudahkan. Tapi kamu harus ingat, aku tetap
jadi sahabat kamu,”
~ ~ ~
07 Desember 2011, tiga hari sebelumnya.
Message received from Vivi, 05:47:46,
“Apa kabar Zi? Apa kamu masih marah?
Mungkin sekarang tidak berguna lagi apa yang mau aku katakan. Tapi mungkin ini
bisa menghilangkan kesalahfahaman kita. Sesuai jadwal, pesawat yang aku
tumpangi transit di Jakarta selama 2 jam. Tapi ternyata kami baru tinggal
landas dari Jogja jam 15:30 (mundur). Sampai sana langsung urus semua
administrasi untuk ke Lampung. Setelah beres semua urusan, ini takdirNya,
selang 15 menit kemudian kami langsung dipanggil ke pesawat. Dalam waktu
singkat itu aku sudah minta izin suami untuk bertemu denganmu. Tapi kata suami
sudah tidak sempat. Yang bisa masuk ke sini hanya yang memiliki tiket dan waktu
keberangkatan pun tinggal sedikit lagi. Aku sendiri tidak begitu paham tentang
hal itu karena ini penerbangan pertamaku. Aku juga sudah siapkan hadiah kecil
untukmu. Tapi ini sudah takdirNya, Allah belum mempertemukan kita. Jujur,
selama di pesawat ke Lampung aku merasa bersalah sekali. Semoga Allah
mengampuni diri ini yang sudah membuat sahabat baiknya kecewa. Maafkan aku,
Zi…”
~ ~ ~
14 Desember 2011, seminggu setelah janji pertemuan itu berlalu.
Pada akhirnya aku tahu, alasan yang membuat Vivi tidak bisa menemuiku. Dan aku juga paham, setelah ini mungkin akan sangat sulit berkomunikasi dengannya. Itu karena segalanya telah berbeda sekarang. Vivi memiliki kehidupan baru yang jauh berbeda denganku serta tanggung jawab yang lebih besar.
Entah kapan, hari di mana aku bisa bertemu dengannya. Sampai kita bertemu kembali. Hari di mana aku bisa menyerahkan secara langsung hadiah untuknya saat perpisahan SMP dulu yang hingga kini masih aku simpan dengan baik. Dan menunjukkan gelang pemberian darinya yang telah aku jaga dengan sepenuh hatiku. Aku akan meyakini hal ini dengan segenap hatiku.
Setidaknya, salah satu mimpiku untuk bisa pergi ke bandara dengan menumpang Bus DAMRI sudah terwujud. Tapi pengalaman pertama berkunjung ke sana kenapa harus meninggalkan rasa sedih ini? Benar kata orang, bandara itu selalu bisa menggoreskan banyak kisah. Kisah tentang pertemuan, kisah tentang cinta, kisah tentang penyesalan, kisah tentang perpisahan. Sayangnya kali ini aku mengalami yang terakhir itu.
Semoga suatu hari nanti, di tempat yang sama pula, aku bisa membawa pulang sebuah senyuman.
~ ~ ~
PS: Untuk sahabat kecilku, di manapun ia berada kini. Darinya aku memahami kehangatan sebuah persahabatan. (Salam dari Lizzie untuk ferreira)