Perlahan
sepeda roda dua tenaga manusia itu pergi berlalu, pun orang dengan gerobak
penuh es yang menyegarkan kerongkongan milik kedai teh poci di ujung jalan juga
sudah lama pergi meninggalkannya. Suara tawa bincang-bincang tentang gossip
terhangat di jurusan entah apa itu di sampingnya telah berganti dengan gerutuan
dua remaja yang sedang melampiaskan kekesalan pada dosen yang mengawas UTS
mereka karena ketahuan menyontek. Terlihat mereka sangat bersemangat menyuapkan
dan melumat mie ayam di hadapan mereka seakan-akan tengah melumat kejadian tak
menyenangkan hari itu. Di ujung sana yang masih bisa terlihat oleh
pandangannya, ada sekelompok remaja lain yang sedang menyanyikan lagu ultah,
rupanya salah satu sahabat mereka merayakan ulang tahun hari itu, pantas dari
tadi ribut terus, batinnya. Yang sedang berulang tahun tampak mengenakan baju
muslimah berwarna putih dengan wajah penuh colekan kue tart ulah
sahabat-sahabatnya. Di sisi yang lain, ada tiga sampai empat orang sedang
serius membahas sesuatu, dari jaket yang mereka kenakan tampak badge salah satu
UKM eksekuti kampus itu. Memang tidak jarang organisasi menggelar rapat dadakan
di tempat begini, lebih santai dan mencari suasana baru.
Gelas
di hadapannya sudah ¾ kosong. Es teh manis kesukaannya yang selalu ia pesan
saat berkunjung ke tempat ini. Meja di dekat pagar dan pohon bambu itu sudah
seperti singgasananya ketika pergi ke sana, ditemani tiga bangku kosong yang ia
jaga baik-baik sampai-sampai ia sempat
bertengkar dengan salah satu pengunjung saat ingin mengambil bangku
tersebut. Aku tahu, kalian (bangku) sebentar lagi akan ada pemiliknya, bisiknya
mencoba menghibur “bangku-bangku” tersebut. Sementara itu, Peluh sudah lama menghilang dari wajahnya.
Sedari tadi sibuk menggerakkan sedotan di gelas, mencari sesuatu. Alasan,
alasan untuk tetap disini. Jarum pendek, panjang, dan jarum detik saling
berkejaran di atas jam tangan kulit miliknya. Seperti tak mau berkompromi,
padahal sudah setengah memohon pada mereka untuk tidak cepat berlalu, untuk
pelan-pelan saja.
Ingatannya
kembali melayang ke waktu dua jam yang lalu. Masjid kampus itu sudah mulai
ramai dengan pemuda dan bapak-bapak yang akan melaksanakan shalat jumat. Tema
pertemuan kali ini adalah “ukhuwah”, begitu kata dia mantap sebagai prolog
sebelum memasuki bagian materi. Sudah menjadi pemandangan biasa di kampus itu,
setiap hari jumat akan banyak terlihat orang berkumpul membentuk
limgkaran-lingkaran kecil majelis ta’lim bernama mentoring. Dan hari ini, dia salah satunya, yang menjadi
mentor. Adik-adik dua tingkat di bawahnya takjim mendengarkan penuturannya yang
khas dengan dibumbui sedikit humor sehingga tak jarang mereka akan tersenyum
atau tertawa saat mendengar materi yang di sampaikan. Hingga lisannya tiba pada
cerita teladan tentang ukhuwah indah yang dimiliki oleh Rasulullah dan
sahabat-sahabatnya. Kerongkongannya
terasa tercekat ketika kata-kata keluar dari mulutnya. Lisannya bercerita,
pikirnya melayang jauh pada masa 3 tahun silam saat ia pun juga dipertemukan
oleh ukhuwah indah yang Allah berikan untuknya, ukhuwah yang terjalin di jalan
kebaikan. Tes..
Satu,
dua bulir airmata mulai mengalir membasahi pipinya yang memerah. Napasnya
tertahan, menahan airmata untuk tidak tumpah. Bilamanalah ini, batinnya.
Adik-adik yang serius mendengarkannya juga ikut terdiam melihat kakak mentornya
itu tergugu dan menangis. “kakak gapapa ko, de, hehe..” ucapnya menenangkan saat
mereka memberondonginya dengan pertanyaan.
Terdengar
helaan napas yang berat darinya. Baginya aneh ia bisa sampai menangis seperti
itu. Sedotan di hadapannya dipandanginya lagi. Matanya mulai melihat jam tangan
di lengan kirinya. Dua jam sudah pergi, tak mungkin kembali. Ia jadi ingat
bagaimana ia tadi berlari-lari menuruni tangga shelter busway dan sepanjang
jalan menuju tempat ini agar tidak membuat pemilik bangku itu menunggu. Ia pun
telah dengan sengaja membatalkan semua agendanya dua jam ke depan untuk sang
pemilik bangku. Napas memburu dan keringat berpeluh yang membasahi bajunya dua
jam lalu tidak ia pedulikan. Yang terpikirkan hanya bagaimana ia bisa sampai
sesegera mungkin dan memberikan senyuman serta sapa jabat hangat terbaiknya
untuk sang pemilik bangku. Wajahnya
melukiskan sebuah senyuman.
Hanya
sang pemilik bangku itu yang mampu membuat ia menangis seperti tadi ketika
membawakan materi mentoring. Teringat akan uluran tangan erat yang membantunya
berdiri saat ia terjatuh di perjalanan menjelajah alam yang menguatkan iman, ia
pergi lagi ke masa itu. Saat ia mencicipi ukhuwah indah yang Allah hadiahkan
untuknya. Pelukan hangat yang diberikan untuk teman, sahabat, sekaligus
saudarinya yang ia amat cintai karena Allah meski baju penuh dengan lumpur
hitam berbau tak menyenangkan. Ya, sang pemilik bangku itu adalah
sahabat-sahabat seperjuangannya. Yang tetap dapat membuat ia berdiri ketika
jatuh, yang menguatkan ketika ia lemah, yang menggotongnya saat ia terjatuh
karena kelelahan di medan juang, yang selalu mengingatkan ketika ia lupa dan
malas, yang selalu rela tertawa walaupun guyonannya tidak lucu, yang rela untuk
pecah berantakan demi untuk membuatnya tetap utuh. Dan merekalah salah satu alasan
dia bisa setegar sekarang. Setegar karang yang dihantam derasnya debur ombak
perjuangan. Namun masa-masa ukhuwah itu telah lama memudar warnanya, pudar oleh
kesibukan, pudar oleh keegoan masing-masing. Wajahnya berubah sedih.
Bip!
Getar
telepon seluler pertanda sms masuk mengembalikannya ke masa sekarang. Di sana
tertulis “moza”. Ini dia! serunya dalam hati. Rasa bahagia membuncah tak sabar
akan pertemuan hari itu. Pertemuan yang ia harapkan bisa menjadi api semangat
baru baginya. Atau untuk sekedar melepas kerinduan pada sahabatnya, pada
saudarinya. Baris pertama dibacanya, tangannya terkulai lemas. lalu baris kedua
dan seterusnya...Dari wajahnya terpancar kekecewaan.
---
Es
teh manis di dalam Gelas di meja dekat pagar dan pohon bambu itu sudah tak
bersisa. Tertinggal sebuah sedotan yang sendiri ditemani oleh empat bangku
kosong tanpa tuan.