Menyesapi pagi yang
sejuk di kota yang berjuluk kota kembang. Rasanya begitu menyenangkan. Barisan
pepohonan pinus tertinggal di belakang deru bus yang membawa Ai pergi. Ia
melihat keluar jendela bus. Pondok-pondok penjual buah tangan khas di sepanjang
jalan raya mulai menggeliat meski pagi masih begitu dingin. Perputaran roda
ekonomi tengah berjalan. Ai selalu mengagumi semangat mereka, orang-orang yang
berjuang keras untuk hidupnya. Semoga Tuhan melimpahkan rezeki-Nya untuk mereka
di hari ini, gumam Ai.
Seusai menjejakkan kaki
melakukan kunjungan silaturahim di salah satu universitas pendidikan di kota
Bandung, Ia dan kesembilan temannya memutuskan untuk bertandang ke salah satu
destinasi wisata yang terkenal di sana. Sudah lama Ai ingin berkunjung ke sana,
dan disinilah ia, di dalam bus yang akan membawa mereka ke sana.
Sudah setahun sejak Ai
menjalin persahabatan dengan mereka. Ia dan kesembilan orang temannya
dipertemukan dalam suatu kegiatan kampus. Berasal dari berbagai jurusan di fakultas, bermacam
latar belakang keluarga yang berbeda, serta sifat yang tidak sama, menjadikan persahabatan mereka begitu istimewa.
Ai menyebut diri mereka dengan sebutan Mozaik Muslimah.
Namun, beberapa waktu lalu ada sebuah kejadian yang kurang
menyenangkan. Diawali dengan pesan singkat dari Aisyah. Sebuah kesalahpahaman
kecil yang membuat hubungan persahabatan mereka menjadi kurang baik. Ai
berharap lewat perjalanan ini persahabatan mereka bisa kembali seperti dulu.
Bukan hal yang mudah untuk menyatukan mereka dalam satu
perjalanan, karena masing-masing memilki kesibukan luar biasa. Tapi untuk
sebuah lukisan persahabatan yang indah, Ai bersedia untuk melakukan apa saja.
~ ~ ~
Bus yang mereka tumpangi mulai mendaki bagian puncak dengan
barisan pepohonan yang semakin padat. Semakin menanjak ke atas, semakin sedikit
jajaran pondokan penjual yang terlihat. Di simpang jalan di depan, bus berputar
ke kanan dan memasuki sebuah kawasan dengan tugu bertuliskan “Tangkuban
Parahu”. Sebentar lagi mereka sampai. Selesai melapor pada penjaga palang
pintu, bus mereka pun diperbolehkan untuk melanjutkan perjalanan. Meski tadi
hujan gerimis sempat menyapa, beruntung mereka diijinkan untuk meneruskan
perjalanan. Di hari-hari yang tidak seberuntung hari ini, bila hujan turun para
pengunjung akan dilarang untuk meneruskan perjalanan karena kabut tebal akan
menutupi jarak pandang. Ai menggumam syukur dalam hatinya.
Diam-diam ia melihat ke arah sahabat-sahabatnya. Tidak ada
yang saling berbicara satu sama lain dengan gembira kecuali hanya satu atau dua
saja di antara mereka yang mengobrol asyik sendiri. Aiko sendiri duduk bersebelahan
dengan Aisyah. Ialah orang yang memutuskan untuk mengambil potongan mozaik
miliknya dan menjauh pergi dari mereka. Aisyah merasa kecewa karena dirinya
tidak cukup baik untuk menyatukan teman-temannya dalam sebuah kepanitiaan di
kampus, hingga akhirnya ia harus mengerjakan semuanya sendiri dan merasa
diabaikan. Dari sanalah pertengkaran-pertengkaran kecil bermula. Dan kesalahpahaman
itu terjadi dan membuat semuanya menjadi canggung. Ai mengerti perasaan kecewanya.
Selama beberapa bulan terakhir, Aisyah selalu menghindar.
Yang pertama kali menyadari hal itu adalah Ai. Saat yang lain berkumpul, Aisyah
tidak ada di sana. Ia pun tidak pernah lagi mengirimkan pesan-pesan singkat
penyemangat yang dulu selalu ia kirimkan kepada sahabat-sahabatnya.
~ ~ ~
“Aisyah, mau coba kue ini?” tawar Ai sambil menyodorkan
sepotong kue brownies coklat jahe buatannya.
Aisyah tidak bergeming. Ai lalu meletakkan kue itu di atas
telapak tangan Aisyah yang terbuka, “makanlah, ini buatanku sendiri. Entah enak
atau tidak, hehe.. ada jahenya loh!” ucap Ai kemudian. Sekilas ia melihat
senyuman di wajah Aisyah.
Sambil memakan kue itu, Ai membuat gambar di jendela yang
berembun. Sebuah gambar smiley untuk
Aisyah.
“Enak ga kuenya?” tanya Aiko pada Aisyah. Yang ditanya hanya
mengangguk pelan, “senangnya kalau begitu. Aku membuat kue ini seharian. Nenek
di rumah sampai marah-marah karena dapurnya berantakan, hehe…” Suara Ai yang
tidak kecil membuat sahabat-sahabat yang duduk di dekatnya ikut tertawa. Mereka
juga ikut menikmati kue brownies coklat jahe itu.
Tetiba, bus yang mereka tumpangi berhenti di sebuah tanah
lapang luas yang berfungsi sebagai tempat parkir bagi bus-bus besar. Ai
mengepak ranselnya dan bersiap untuk turun dari bus mengikuti orang-orang di
depannya. tangan kanannya mengenggam erat tangan Aisyah untuk mengikutinya.
“Ai, aku dan Juan ke toilet dulu ya.. tunggu kita ya,”
seloroh Imas sambil merangkul Juan. Nova dan Dine mengikuti mereka dari
belakang.
Aiko melambai pada mereka sambil memberi isyarat untuk
bergegas. Ia melirik sahabatnya yang lain. Sudah lama sekali mereka tidak
berkumpul dalam satu tempat yang sama. Ai menghirup dalam-dalam udara
pegunungan yang segar. Dari sana terlihat beberapa mobil mini bus yang akan
mengantar para pengunjung untuk meneruskan perjalanan mendaki ke kawah
Tangkuban Parahu. Juga ada beberapa pondokan tradisional yang menjajakan buah
tangan khas Tangkuban Parahu. Fatma, Vina, dan Nazir, sahabat Ai yang lain,
sengaja melihat-lihat kesana sambil menunggu giliran antrian minibus yang akan
membawa mereka ke atas.
“Aku akan membuat
lukisan mozaik ukhuwah kami kembali lengkap!” batin Ai.
~ ~ ~
Karunia-Nya sungguh luar biasa pada negeri ini. Tanah yang
subur, tanah yang kaya. Tanah yang dipenuhi banyak pemandangan indah bak surga
dunia. Beruntunglah bagi siapa saja yang hidup di dalamnya. Bertebaran di muka
bumi, maka akan banyak kita temukan tanda-tanda kekuasaan-Nya. Segala Puji
bagi-Nya.
Di hadapan Ai terbentang lanskap alam kawah Tangkuban Parahu
yang indah. Barisan gunung sambung menyambung. Kepulan asap putih dari mulut
kawah menambah indah pemandangan. Sambil menyandarkan tangan di salah satu
pagar pembatas kawah, Ai memejamkan matanya untuk mengambil setiap inci dari
keindahan di depannya ke dalam dirinya.
Tidak jauh dari tempat ia berdiri, Hilda sahabatnya sibuk
memegang kepalanya yang terasa pusing dan mual sejak naik minibus tadi. Nazir,
Vina, Fatma, dan Juan mendekat dan berusaha membuat Hilda merasa lebih baik.
Tapi tidak ada satupun dari mereka yang membawa P3K. Ai yang melihat hal itu
langsung mendekat, tapi sebelum ia sampai di sana, Aisyah yang sedari tadi
berada di sampingnya sudah lebih dulu pergi dan mendahuluinya. Di dekat Hilda,
Aisyah membuka tas ranselnya yang super besar dan mengeluarkan kotak P3K dari
dalamnya.
“Jadi itukah alasan ia
membawa tas sebesar itu?” batin Ai sambil tertawa kecil. Sahabat-sahabatnya
yang berada di dekat Hilda ikut lega melihatnya dan tersenyum simpul. Setelah
empat bulan, inilah kali pertama Aisyah mau bergabung dengan mereka.
“Bagaimana, apa sudah lebih baik?” tanya Aisyah mencemaskan
Hilda.
Hilda mengangguk pelan, “ya, sudah tidak apa-apa.
Terimakasih ya, Aisyah..” ucapnya lagi.
“Syukurlah,” balas Aisyah.
“Jadi, sebanyak ini jumlah kita tapi gak ada satupun yang
berinisiatif untuk membawa P3K, hehe… kita harus berterimakasih pada kakak
siaga kita yang satu ini,” seru Fatma sambil merangkul pundak Aisyah.
Awalnya Aisyah merasa canggung dengan hal itu dan suasana
mendadak menjadi sunyi, namun kebekuan di antara mereka selama ini mencair
begitu saja. Aisyah tersenyum, dan mereka pun tidak mampu menahan tawa mendengar
celotehan sahabatnya yang satu itu.
“Sudah lama aku tidak melihat senyum selebar itu,” gumam Ai
sambil menyeka bulir airmata di matanya.
~ ~ ~
Sepanjang bibir kawah Tangkuban Parahu dibatasi oleh
pagar-pagar kayu. Di sisi kiri dan kanannya terdapat bukit-bukit kapur yang
bisa untuk di daki asal sedikit berhati-hati. Juan hampir saja tergelincir
kalau Aisyah yang berjalan di belakangnya tidak menangkap tangannya dengan
erat. Setelah sampai di puncak salah satu bukit, mereka saling mengambil foto
sebagai kenang-kenangan.
Dari kisah yang Ai baca di buku-buku pelajaran, Tangkuban
Parahu adalah tempat yang menyimpan sebuah legenda di dalamnya. Tentang kisah
asmara terlarang anak dan ibunya yang harus berakhir dengan tidak menyenangkan.
Sangkuriang dan Dayang Sumbi. Ketika mengetahui bahwa sang anak menyukai
dirinya, Dayang Sumbi yang berparas jelita pun meminta untuk dibuatkan sebuah
perahu besar dengan syarat harus selesai dalam waktu semalam. Namun sebelum
perahu itu rampung dibuat, Dayang Sumbi menebarkan kain putihnya hingga seakan
pagi telah datang dan ia tidak menepati janjinya. Sangkuriang yang marah
mengangkat perahu itu dan melemparnya jauh ke utara hingga perahu itu jatuh
terbalik dan menjadi puncak gunung yang di masa ini dinamakan Gunung Tangkuban
parahu oleh masyarakat setempat.
Tapi entah bagaimana, dalam
diam, Ai berterimakasih, karena hal itu telah membuat pemandangan indah yang
kini ia nikmati bersama sahabat-sahabatnya. Saat waktu makan siang tiba, mereka
makan bersama di pinggir kawah dan menikmati bekal yang mereka bawa sambil
saling mencicip bekal satu sama lain. Buah stroberi merah besar yang dibeli fatma dari seorang penjual di sana,
menjadi makanan penutup yang manis dan asam. Piknik di atas puncak yang
menyenangkan.
Sebelum pulang, Ai dan sahabat-sahabatnya menyempatkan diri
untuk mengambil foto bersama untuk terakhir kalinya di tempat itu. Setelah
meminta tolong pada seorang Bapak yang dengan senang hati bersedia mengambil foto
mereka.
“Satu.. Dua.. Tiga.. Cheese!!!”
~ ~ ~
Tidak pernah sebelumnya Ai melihat senyuman sebahagia itu
dari sahabat-sahabatnya yang terekam dalam kamera. Harapannya telah terkabul.
Di tempat yang indah ini lukisan mozaik itu kembali lengkap.
“Takdir ini seperti
sebuah mozaik. Setiap orang menyimpan satu bagian puzzle. Perlu bersepuluh
untuk membuat lukisan mozaik ini menjadi sebuah lukisan ukhuwah terindah,”
gumam Ai pada dirinya sendiri,
Ai merasa menjadi orang yang paling beruntung di dunia,
“hidup di sini dan tinggal di sini, bersama orang-orang yang kusayangi, tidak
ada lagi yang bisa kuminta lebih dari itu,”
~ ~ ~
Ukhuwah
MoZa,
15
November 2011, Tangkuban Parahu