twitter



Hari berhujan datang lagi. Rika meringkuk di atas tempat tidurnya. Hari-hari yang melelahkan. Proposal skripsinya kembali ditolak untuk yang ketiga kalinya. Di saat-saat begini yang paling nyaman adalah berada di rumah dan bercerita keluh kesah pada Mama. Tapi, Rika tidak bisa melakukannya.


Badannya membolak-balik, resah. Satu persatu bulir bening membasahi bantal. Tidak ada suara. Hanya sunyi. Kamar kos berukuran 4x4m itu begitu sempit. Menambah sesak hati Rika yang menyesakkan. Perlahan matanya menutup, jatuh ke dunia mimpi. Di mana hal-hal baik mungkin terjadi.

~ ~ ~

“Mama..,” tangannya menggapai-gapai udara, berusaha mengejar seseorang di depan. Kaki-kaki kecilnya semakin memburu. Hampir saja terjatuh.

“Iya, sayang.. pelan-pelan jalannya. Mama gandeng tanganmu, ya,” ucap seseorang dengan suara yang lembut.

Hari itu hari Sabtu pagi, jadwal Mama pergi ke pasar. Rika selalu menanti-nantikan hari Sabtu tiba. Bagi Rika kecil, Hari Sabtu berarti seplastik coklat dan permen gula-gula kapas. Tangan mungilnya mengayun-ngayun mengikuti langkah kaki Mama.

“Mama… Rika mau permen kapas ya, itu di sana!” pinta Rika sambil menunjuk sebuah supermarket kecil yang baru buka di dekat pasar. Vokalnya yang masih cadel membuat Mama tersenyum kecil memandang wajah putri sulungnya itu. Mama teringat janjinya pada Rika tentang permen kapas kalau Rika mau membantu mencuci piring tadi pagi.

“Iya, sayang. Mama belikan. Ayo kita ke sana, pelan-pelan ya jalannya,” jawab Mama.

Sesampainya di dalam supermarket, Rika langsung menghambur ke dalam mencari-cari letak permen kapas yang diinginkannya. Serius sekali, seperti seseorang yang sedang menjalankan misi penting. Rak demi rak ia lalui, matanya melirik kesana kemari awas melihat kalau-kalau ada makanan favoritnya di sana yang bergambar koala kecil berwarna pink. Saat berbelok menuju rak lainnya, matanya menangkap benda itu, permen kapas favoritnya. Rika tersenyum lebar. Senang sekali, tangannya yang kecil dengan mudah menggapai permen itu yang berada di rak paling bawah.

“Mama.. ketemu! Permen Rika ketemu, Ma,” seru Rika girang. Ia menengok ke kiri dan ke kanan mencari sosok Mamanya, “Ma..,” Rika berputar-putar. Mama tidak ada di sana, ”Mama di mana?” senyumannya berubah menjadi panik, Rika terisak-isak sambil berjongkok memanggil-manggil Mama.

Tiba-tiba seseorang mengelus lembut kepalanya, “Rika… ini Mama, sayang,”

Ia mendongakkan kepalanya, tangisnya makin menjadi, “Mamaaaa!, hiks.. hiks.. hiks…”

Tangan lembut itu sekali lagi mengelus kepala Rika, “Iya, iya, Mama di sini. Lain kali jangan jauh-jauh dari Mama, ya. Jalannya pelan-pelan,” ucap Mama yang kini pandangannya sejajar dengan Rika kecil. Rika kecil tersenyum lebar mengangguk dengan sesengukan. Begitupun Mama sambil menyeka ingus dan airmata di wajah anak kesayangannya.

~ ~ ~

Hari beranjak sore, Rika kecil telah tumbuh menjadi siswa kelas enam SD yang pandai. Langkahnya gontai, napasnya mengeluh berkali-kali. Amplop putih di tangan kanannya tidak setebal seperti milik teman-teman lainnya di kelas.

Pagi tadi pengumuman penerimaan siswa baru hasil seleksi kota sudah dibagikan. Rika begitu tidak sabar membayangkan serunya mengikuti ekskul karate di SMP idamannya. Tapi wajahnya berubah pucat ketika melihat tulisan dua kata tercetak tebal di dalam amplop miliknya. “TIDAK LULUS”. Entah bagaimana Rika akan menceritakan ini kepada Mama. Di antara semuanya, Mama yang paling berharap banyak dari putri sulung kesayangannya itu.

“Assalamu’alaikum,” ucap Rika ketika memasuki pintu rumah.

“Wa’alaikumussalam, Rika, kok sudah sore baru pulang? Gimana hasilnya?” tanya Mama sambil mengelap tangannya yang basah sehabis mencuci piring.

Rika menggeleng pelan. Mama yang tidak mengerti maksud putrinya itu, bertanya lagi, “Kamu lulus kan, Nak?”. Pertanyaan yang dijawab linangan airmata di pelupuk mata Rika. Tidak sebiasa biasanya, Mama sangat terkejut. Putrinya yang pandai gagal masuk ujian SMP Negeri. Tanpa bicara sepatah katapun, Mama berlalu pergi ke arah dapur. Rika sendirian di ruang tamu, menangis terisak.

Papa yang mendapati anak sulungnya menangis, langsung menggenggam tangan Rika dan menaikkannya ke atas motor. Hari itu adalah hari terakhir pendaftaran sekolah tingkat SMP. Papa membawa Rika pergi ke salah satu SMP swasta di kotanya. Pasrah, Rika mengikuti langkah-langkah Papa sambil tertunduk dalam. 

Dalam hatinya, Rika mengucap doa. Ia berjanji ini adalah kali terakhir baginya mengecewakan harapan Mama. Di sekolah ini, Rika berjanji dalam hatinya akan menjadi yang terbaik, dan membuat Mama bangga.

flashback...
Mama.. doain aku ya, nanti kalau Rika lulus ke SMPN 2, Rika mau kasih Mama hadiah,” ucap Rika sambil memakan cemilan kue beras yang dibelikan Mama walau harganya cukup mahal ,
“Iya, udah, belajar dulu. Mama tunggu Rika di luar sampai selesai ya. Jangan lupa baca Bismillah,” jawab Mama tersenyum seraya mengambil bungkus cemilan itu dan menyeka serpihan remah-remah di wajah putrinya ,
“Iya, Ma,”. Rika menghilang di balik daun pintu kelas ruang ujiannya.

~ ~ ~

Siang terik yang menyengat di bulan Juni. Rika menyejajari Mama yang berdiri di sampingnya yang sedang melihat pengumuman seleksi SMA. Rika berhasil lulus dari SMP dengan predikat siswa dengan prestasi terbaik. Mama mewakili Rika saat pengambilan ijazah dan hadiah kelulusan di sekolah tempo hari. Wajah Mama saat itu tidak akan pernah Rika lupakan. Wajah Mama yang tersenyum penuh syukur. Senyuman paling indah di seluruh dunia.

“Rika, kamu mau melanjutkan sekolah di SMA mana?” tanya Mama. Mereka sedang berada di aula SMAN 1, SMA terfavorit di kota, yang memajang berkas-berkas penerimaan siswa baru.

“Rika mau ke SMAN 3, Ma. Rika mau pakai seragam jilbab panjang kayak kakak-kakak itu,” tunjuk Rika ke arah beberapa siswi berpakaian muslim di seberang jalan dengan pin berbentuk segitiga sebagai identitas sekolah.

“Ayo, kita ke SMAN 3 sekarang. Mumpung masih siang,” ajak Mama. Tanpa pikir panjang Mama menyetop angkot yang lewat di depan mereka setelah sebelumnya menanyakan lokasi sekolah tersebut ke satpam yang menjaga gerbang sekolah.

Jika dulu, Rika akan dengan manja menempel pada Mama dan bercerita tentang apapun yang terlintas di pikirannya. Tapi Rika kecil telah menjelma menjadi seorang remaja yang malu bila terus menempel pada Mama. Mendadak Rika berhenti bercerita bebas kepada Mama. Ia lebih sering menghabiskan waktu dengan teman-teman sekolahnya. Sibuk dengan kegiatan ekskul di sekolah yang menyita hampir semua waktu luang yang dulu ia habiskan bersama Mama.

~ ~ ~

Waktu berlalu bagai memburu. Pagi-pagi betul, Rika dan Mama menumpang bus patas AC menuju universitas negeri di Jakarta. Matahari masih enggan bersinar ketika bus mulai melaju di kelengangan jalan tol dalam kota. Perlahan sinar matahari yang lembut menyapu wajah Rika yang menempel di jendela bus. Mama yang duduk di sebelahnya sibuk membolak-balik memastikan tidak ada berkas yang tertinggal.   

Seminggu yang lalu Rika dinyatakan lulus masuk ke perguruan tinggi negeri di Jakarta tanpa tes. Bukan main senangnya hati Rika. Terlebih lagi Mama. Mama yang paling semangat sejak pagi buta. Menyiapkan segalanya sementara Rika masih malas-malas meringkuk di balik selimutnya. Jadwal daftar ulang dan wawancara yang lumayan pagi membuat mereka yang tinggal di luar Jakarta harus ekstra segalanya.

Rika lahir dari keluarga yang sederhana. Mama dan Papa berjualan bandeng masak ke warung-warung dan katering. Di antara keluarganya, ia satu-satunya yang berhasil melanjutkan ke universitas. Mama yang begitu bersemangat tidak ingin melewatkan kesempatan mengantar putrinya memasuki gerbang kuliah yang selalu menjadi mimpinya sejak dulu tapi harus ditepisnya jauh-jauh ketika kondisi ekonomi keluarganya tidak sebaik sekarang.

Meski harus mengajukan permohonan beasiswa, Mama akan melakukan apapun agar putrinya dapat mengenyam pendidikan yang lebih baik dari dirinya. Tapi dalam rumit dan lelahnya segala proses administrasi itu, Mama masih tersenyum. Rika yang sudah mengeluh berkali-kali seperti mendapat setruman ajaib setiap kali ia melihat wajah Mama. Walau akhirnya berkas pengajuan itu ditolak, Mama mengenggam tangan Rika erat. Mengalirkan harapan kepadanya bahwa jalan keluar pasti ada di suatu tempat di sana.

~ ~ ~

Sudah satu tahun Rika tinggal terpisah dengan kedua orangtuanya untuk menjaga nenek yang sudah lanjut usia. Meski jarak rumah mereka tidak begitu jauh, tapi Mama memang tidak bisa terus menemani ibunya setiap hari karena kesibukan berdagang dan menjaga rumah. Rika dengan senang hati menggantikan Mama untuk itu.

Setiap akhir pekan, Rika akan pulang ke rumahnya untuk melepas rasa kangen dengan Mama dan Papa walaupun kadang harus ditutup dengan pertengkaran kecil antara ia dan adiknya.

Saat itu Rika kuliah semester dua. Akhir pekan ini ia tidak bisa pulang karena ada acara organisasi kampus di luar kota. Rika sangat enggan untuk pergi, tapi tidak bisa tanpanya karena ia sudah mendaftar menjadi peserta kegiatan. Setelah berpamitan, Rika pun pergi.

Sepulangnya dari sana, Rika begitu terkejut mendapat kabar Mama mendapat musibah kecelakaan dini hari saat mengantarkan pesanan ikan untuk katering langganan. Seketika itu juga, tubuh Rika lemas. Tidak ada orang di rumah yang berani memberitahunya karena khawatir Rika cemas dan akan memaksa pulang dari kegiatan organisasinya di luar kota.

Melihat keadaan Mama yang lebam di sana-sini, Rika menahan sesak di kerongkongannya. Beberapa gigi Mama patah, dan lidahnya membiru karena tergigit. Rika hanya bisa melihat Mama dari jauh yang sedang diobati oleh Nenek.

Dalam keheningan malam, Rika terbangun terisak. Ia bersimpuh memohon kesembuhan untuk Mama.

~ ~ ~

Detak detik di jam dinding seperti membeku. Tidak bergerak sedikitpun. Pukul dua malam, Rika terbangun dari tidur. Memandang ke sekeliling kamar kosnya. Ada perasaan aneh di sana. Seperti kembali ke masa lalu saat Mama yang selalu ada untuk Rika. Setia mengantarkan di setiap jenjang pendidikannya.

Rika bangun dan mengambil air wudhu. Ia teringat Mama, yang sering dilihatnya ketika terbangun di tengah malam, bangun di sepertiga malamNya dan menegakkan qiyamul lail.

Melesat dalam ingatannya, Mama yang mengajarkan bacaan niat berpuasa dalam bahasa arab dengan perlahan di atas meja makan ketika Rika kecil pertama kali berpuasa full. Mama yang terbangun dan menyelimuti Rika yang sedang tidur seraya menghalau nyamuk-nyamuk yang menganggu tidurnya, sambil terkantuk-kantuk. Mama yang sedang memasak di dapur untuk menyiapkan dagangan esok hari walau luka-luka di tubuhnya karena kecelakaan belum sembuh benar karena harus membayar kebutuhan sehari-hari dan biaya sekolah anak-anaknya.

Sambil bersimpuh, Rika teringat ketika Mama menyuruhnya makan dengan membiarkan diri sendiri tidak makan dengan berdalih sedang berdiet karena lauk-pauk yang ada tidak cukup untuk semuanya.

Mama yang selama tiga tahun ini berjuang sendirian untuk putri sulung yang dicintainya selepas berpisah dengan Papa. Walau Mama tidak pernah mengucapkan rasa sayang secara langsung, tapi Rika bisa merasakan ketulusan dan kasih sayang darinya.

Ada hari di mana Rika mencuri pandang ke arah Mama yang memunggunginya. Hatinya terenyuh ketika memperhatikan tubuh Mama yang tidak lagi muda. Wajahnya yang tidak lagi sesegar dulu. Rambutnya yang sudah mulai memutih, bahkan ketika Mama menyuruhnya untuk mencabut uban di kepala, Rika tertegun melihat begitu banyak rambut putih di sana hingga ia sendiri bingung harus mulai mencabut darimana.

Hari itu, Mama begitu sibuk menanyakan jadwal wisuda Rika. Sibuk menyiapkan baju apa yang akan dipakai Rika di hari kelulusannya nanti. Alih-alih senang, Rika justru membentak Mama dan pergi keluar rumah. Rika tak sanggup menjelaskan kesulitannya pada Mama hingga meluap emosinya. Hari itu Rika tidak pulang dan memutuskan untuk tinggal jauh dari Mama. 

Mengingat itu semua, Rika menghapus airmatanya yang keluar tanpa henti. Ia telah mengecewakan Mama. Harapan Mama untuk dapat melihat putri sulung yang disayanginya lulus kuliah tepat waktu.

Ya Allah, ijinkan aku untuk membahagiakan Mama. Ijinkan Mama untuk dapat bersamaku hingga aku dapat membahagiakannya. Aku ingin melihatnya tersenyum penuh syukur seperti dulu. Semoga Engkau selalu menjaga dan menyayanginya ketika penjagaanku tidak sampai, “ lirih Rika berdoa.

Di sepertiga malam itu, semesta ikut mengaminkan doanya.

~ ~ ~

Pagi hari di udara yang hangat di pertengahan Oktober. Kicau burung terdengar begitu nyaring. Di salah satu aula yang terdapat di gedung pertemuan ini, sebuah kampus tengah menyelenggarakan acara wisuda untuk mahasiswanya yang telah berhasil menyelesaikan studi. Rika ada di sana. Mengenakan baju toga dengan bangga. Menghadap Mama dan Papa.

Seluruh keluarga datang menemani. Asyik mengambil foto bersama Rika. Adiknya yang jahil, iseng menarik-narik topi toganya yang dibalas jawilan oleh Rika sambil memakaikan topi itu ke atas kepala adiknya yang dua tahun lagi juga akan di wisuda. Waktu berlalu begitu cepat.

Tiba saatnya Rika akan berfoto dengan keluarganya. 

Sebelum itu, Rika mengamit tangan Mama yang sudah berkeriput, tanda kerja keras dan baktinya pada keluarga ini. Rika mencium tangan itu dan memeluk Mama. Sambil berkata, “Mama, ini (wisuda kelulusan) untuk Mama. Terimakasih untuk selama ini. Maafkan kesalahan yang pernah Rika buat. Rika sayang Mama,” Rika menghapus airmata di pipinya. Ini kali pertama baginya memeluk erat Mama sejak ia tumbuh dewasa.

“Mama juga sayang Rika. Makasih, sayang,”

Hari itu, Rika menemukan kembali senyuman yang paling disukainya. Senyuman Mama yang penuh kesyukuran.
~ ~ ~

0 komentar:

Posting Komentar