twitter



Sering, aku suka sekali dengan quotes atau kutipan yang ada di setiap film, komik, novel, atau di mana saja yang kutemui dan entah bagaimana semua itu terhubung dengan bagian dalam hidupku.  Baik kutipan yang tersurat maupun yang tersirat. Here they are


wind (Akeboshi) ost Naruto.
Don’t try to live so wise…
Don’t cry coz you’re so right,
Don’t try wish to face fears,
Coz you will hate you’re self in the end…”
(Azalea:Just like I do’)

Berikutnya, kutipan dialog Drama korea yang tidak pernah bosan untuk kutonton meskipun ini termasuk dalam deretan drama korea yang terbilang jadul. Drama berjudul Sassy Girl: Chun Hyang. Kata-kata yang paling kusuka dari tokoh utama wanita, Chung Hyang adalah..

“…jadi kita sudah ‘berputar’ sejauh ini ya…”

Ya, bagaimanapun, kupikir ini semua seperti sebuah lingkaran yang sempurna. Kemanapun kau pergi, kau pasti akan bertemu dengan takdir baik yang selalu setia menunggumu. Mungkin kau harus berputar satu putaran penuh untuk menemukan Hadiah dariNya.

Jika dalam kehidupan ini benar-benar ada kisah cinta seperti tokoh Chun Hyang dan Lee Mo Ryong atau seperti tokoh Lee Gak dan Park Ha di drama Rooftop Prince, yang tetap bersama meski jarak dan waktu terpisah begitu jauh, maka hidup ini mungkin akan menjadi kisah romantis sepanjang masa, hehe.. tapi cerita seperti itu masih kalah jauh bila dibandingkan dengan kisah cinta Rasulullah dan istrinya. Juga kisah cinta para sahabat Rasulullah dengan keluarganya. Karena mereka saling mencintai karenaNya -^_^-

Next, kutipan yang kusuka datang dari sebuah anime yang diperkenalkan sahabat baikku semasa SMA. Aria the anime. Anime yang bercerita tentang kisah manusia di sebuah kota masa depan bernama Neo-Venezia di planet air yang dulu dikenal dengan nama planet Mars. Seingatku, pernah bukan aku menceritakan kisah tentang Aria ini.. ^_^
Kutipan ini dari lagu penutup salah satu serial Aria, yaitu Aria the OVA..

Biarkan aku menikmati perasaan lembut dan hangat ini sedikit lagi… Bersamamu…” –Akari Mizunashi (Aria The OVA).

Masih berasal dari kutipan lirik lagu. Ini lagu yang tidak sengaja kudengar saat sedang mengganti-ganti channel di televisi, hehe.. Sekali mendengar langsung jatuh cinta sama video klipnya. Return oleh Lee Seung Gi,

Dimanakah kita berada sekarang? (Urin eodijjeum isseulkka?)
Apakah kita (masing-masing) merasa bahagia?( Urineun haengbokhaetdeon geolkka?)
Hanya semu yang kulihat..
Bagaimana denganmu?

Kembali ke drama. Ini juga salah satu drama saeguk (drama berlatar kerajaan korea masa lalu) yang kusuka. Cerita yang alurnya maju mundur dari masa lalu ke masa depan adalah favoritku. Meski terkadang untuk mencerna cerita semacam ini butuh ‘waktu lebih’, hehe..

Drama -masih dari korea- ini berjudul Faith:The Great Doctor. Dalam dialog di rangkaian episode terakhir:

Jika kau bersedia tinggal di sini, maka aku akan melindungimu.
TIdak hanya untuk hari ini atau beberapa hari ke depan.
Tapi aku akan melindungimu seumur hidupku.
Jika sampai suatu saat di mana aku menanyakan hal ini padamu,
Maukah kau menjawabnya?

Aku berharap bisa mendengar yang serupa dari seseorang yang ditakdirkanNya untukku. ~^^~

Dan ini juga salah satu drama favoritku yang selalu berhasil membuatku tertawa sendiri setiap menonton episodenya. Apalagi cara dubber yang men-dubbing karakter drama ini (di salah satu stasiun TV yang aku tonton) sangat lucu. Drama ini adalah versi korea dari cerita yang diangkat dari komik Jepang berjudul “Itazura Na Kiss”. Syukurlah aku menontonnya di televisi, KPI selalu setia membuang beberapa scene yang tidak sesuai, hhe..

Ini pidato dari Baek Seung Jo yang terinspirasi dari perkataan Oh Ha Ni saat upacara kelulusan SMA mereka. Berikut adalah dialog yang kuingat versiku sendiri ya, ^^ :

Kamu harus hidup dengan bersenang-senang. Hidup itu tentang kau bahagia dan membuat bahagia orang lain. Hiduplah seperti itu. Yang terpenting adalah bukan dari mana kita memulai, tapi kemana tujuan kta. Sampai saat kita mengetahui tujuan kita, maka bersenang-senanglah dalam hidup. Dengan begitu maka tidak ada penyesalan.”

Dan kutipan favoritku yang terakhir untuk kali ini datang dari dialog di komik Aria episode terakhir. Tentang Alice, salah satu sahabat Akari (tokoh utama cerita ini), yang sudah lebih dulu menjadi senior tingkat prima di perusahaan penyewaan gondola terbesar di Neo-Venezia. Karena kesibukannya, ia menjadi rindu dengan sahabat-sahabatnya yang dulu selalu bersamanya menghabiskan waktu berlatih bersama sepanjang hari. 
Aku ingin bertemu kalian. Tapi tak pernah ada cukup alasan bagiku untuk bertemu kalian. Aku sangat merindukan kalian,” –Alice.
“Jika tak ada alasan, kau saja cukup menjadi alasan untuk bertemu ^^” –Akari.

and, I say.. “Meskipun tak ada momen saat ini untuk bertemu, buat saja momen-mu sendiri. Tak perlu menunggu keajaiban terjadi. Karena kebahagiaan adalah sebuah pilihan. Kita sendiri yang menentukan..” –Azalea.


Kanji
心の雨が降る
いつも君を思う
君はずっと僕の中にいる
君を忘れない

心の雨が降る
いつも君を思う
君はずっと僕の中にいる
君を忘れない

君はずっと僕の中にいる
消えない君の温もり
君はずっと僕の中にいる
忘れたりはしない

止まない心の雨
君を忘れない
止まない心の雨
君を忘れない

心の雨が降る
いつも君を思う
君はずっと僕の中にいる
君を忘れない

いつも君を思う
ずっとずっと
いつも君を思う
永遠に

いつも君を思う
ずっとずっと
いつも君を思う
永遠に




Desember 2004, tingkat dua sekolah menegah pertama


“Zy, lagi ngapain?” Tanya Alvi yang sedang santap siang. Jam istirahat hari ini sedikit lebih panjang karena hari ini hari jum’at. Saat dimana murid-murid cowok sekolah akan memenuhi masjid kebanggaan sekolah kami dan menunaikan kewajiban shalat jum’at di sana. Izzy dan kelima sahabatnya yang lain sedang menikmati waktu makan siang sambil menunggu kakak pembimbing rohis datang.

Alvi juga Icha terbiasa membawa bekal sendiri dari rumah. Tapi hari ini Alvi terpaksa membeli makanan di kantin karena ia lupa membawa bekalnya tadi pagi, “Tumben beli di kantin, vi?” Tanya Icha yang langsung memberikan tanda kalau dia mau meminta es teh dingin punya Alvi, “hehe.. ambil aja, cha. Iya nih, tadi karena buru-buru gue eh aku lupa bawa bekal umi…,” jawab Alvi. Izzy yang mendengar ucapan Avy yang mengoreksi kata “gue” dengan “aku” jadi tertawa kecil.

“Aku lagi buat cerita baru, Vy..,” ucap Izzy. Dari keenam orang itu, Izzy adalah salah satu yang menyukai dunia tulis menulis. Usut punya usut hal ini ia tekuni sejak tugas membuat naskah drama di tingkat pertama tahun lalu.

Alvi menaruh kembali makanan yang akan ia santap, “wah… kali ini aku jadi siapa, Zy? karakter aku yang kemarin kan anak gaul, hehe..” celotehnya sambil melihat buku yang sedang jadi medan tempurnya Izzy.
“Izzy, kali ini aku gak jadi ibu peri kan? ibu peri kan identik sama ibu gendut,” sambar Icha.
Izzy lantas mengangkat pensilnya tinggi-tinggi, dengan bersemangat ia memulai ceritanya, “Kali ini aku sedang membuat cerita tentang persahabatan enam orang perempuan yang sekolah di sebuah tempat terkeren di dunia, hoho…, kalian tahu, nama sekolahnya Harrington School di Boston, Jerman, terus..”
“Weits.. lagi pada ngapain nih?”Anna dan Nadin yang baru dari kantin tiba-tiba ikut bergabung. Eha mana ya? tadi kan dia bersama mereka.
“Anna, sstt.. Izzy lagi nyeritain cerita barunya,” jawab Icha mewakili Izzy berbicara, “Terus, Zy?”
“Nah, di Boston, Jerman sekolah tersebut sangat terkenal. Milik keluarga Harrington. Salah satu putri mereka Ann bersekolah di sana. Lalu ada juga seorang putri dari keluarga bangsawan, namanya Ferreira, Dia ini pianis yang sangat lihai. Terus ada juga bunga kampusnya sekolah ini, namanya Anrie. Ah ya, ada juga seorang tokoh gak terduga yang muncul nanti. Lalu ada tokoh seorang anak yang bercita-cita ingin jadi seorang ilmuwan. Pokoknya setiap hari dia selalu bikin laboratorium sekolah meledak, hehe…”

Keempat temannya yang mendengarkan saling memandang satu sama lain,
“Zy, ini kisahnya khayalan banget ya,” komentar Nadin yang masih mencoba membayangkan cerita Izzy.
“Kita berperan jadi siapa di sana?” Tanya Icha, “aku jadi apa?” desaknya lagi.
Izzy melihat wajah teman-temannya satu per satu, “di sini ada daftar nama tokohnya. Kalian boleh pilih yang mana saja, “ sodor Izzy memperlihatkan buku berharganya. Mereka pun melihatnya dan memilih nama masing-masing.

Tiba-tiba dari arah belakang mereka terdengar suara seseorang mengucapkan salam, “Assalamu’alaikum..”
dengan spontan, Izzy dan teman-temannya menjawab, “wa’alaikumussalam,” tapi tetap asyik dengan bukunya Izzy.
“Kita udah bisa mulai bimbingan rohisnya belum?” Tanya seseorang lagi sambil menepuk pundak mereka satu per satu. Yang ditepuk lalu menengok dan langsung salah tingkah, “eh, kak Maya udah datang ya….” ucap Anna, “eh, cepet diberesin, mau rohis nih,”. Begitulah, akhirnya mereka kembali ke alam “nyata”, hehe… sementara itu, di kantin, Eha masih setia menunggu Anna dan Nadin yang tak kunjung keluar dari toilet. “Mereka kemana sih? lama banget ke toiletnya,” gerutu Eha sambil menyeruput es krim stroberinya yang mulai mencair. ckck..
-sf-
Esok harinya…
“Eha, kita ke kantin yukk!!” ajak Nadin dan Anna berbarengan. Jam Istirahat pagi kembali berbunyi. Istirahat pagi tidak terlalu lama waktunya, sekitar 30 menit. Biasanya para murid memanfaatkan waktu ini untuk sarapan (bagi yang gak sempet sarapan) atau pergi ke masjid untuk menunaikan sholat dhuha atau sekedar duduk-duduk di selasar masjid.

Yang diajak merengut tapi wajahnya justru terlihat semakin lucu, “tapi jangan tinggalin aku kayak kemarin lagi ya,” pintanya. “Siip.. janji deh!” ucap Anna,
“eh, aku ikut yaa.. Icha belum sarapan nih, mau beli cola di kantin,”
“Zy, mau ikut ga?” Tanya Icha. Icha dan Izzy sudah berteman semenjak mereka duduk di tingkat pertama. Karena saat itu kebetulan mereka sekelas di kelas 1.2. Jadi di antara semuanya, sebenarnya Izzy lebih akrab dengan temannya yang sedikit bertubuh gemuk ini. Walau begitu, wajahnya sangat manis.

Seperti biasa yang diajak menggeleng pelan, “gak ah, aku mau ke masjid aja, sekalian ngasih tugas ke ruang guru” kata Izzy sambil menunjukkan tumpukan buku PR teman-teman di atas mejanya. Tahun inipun dia ditunjuk sebagai ketua kelas 2.3. “Aku ikut!” seru Alvi.
“Ikut siapa?” Tanya Nadin.
“Ikut Izzy, hehe..” jawab Alvi sambil membetulkan letak jilbab segiempatnya.   
 ~~~
“Capeknya.. gue eh aku gak nyangka buku PR sekelas bisa seberat itu,” ucap Alvi sambil menyeka keringat di dahinya. Lagi-lagi keceplosan menyebut kata “gue”. Mereka berdua tengah beristirahat di selasar depan masjid sambil menghilangkan peluh sebelum sholat dhuha.

“iya, tapi lumayan Vy, kan sekalian olahraga dan tambah kurus,” hibur Izzy yang ikut mengipas-ngipas tangan. “tapi, aku kan udah kurus, ntar kalau jadi kurus lagi apa jadinya,”. Izzy menengok ke arah Alvi pun sebaliknya. Mereka tengah membayangkan rupa Alvi yang tinggi dan semakin  kurus, keduanya tertawa kecil. Di masjid kan gak boleh berisik.

Di antara mereka berenam, Izzy benar-benar seperti polisi kecil. Sebentar-sebentar mengingatkan teman-temannya untuk mengganti kata “gue” dengan kata “aku”. Sebentar-sebentar bilang kalau…
“Nadin, makannya jangan sambil berdiri dong,”, “Icha minumnya sambil duduk,” seru Izzy ketika melihat dua sahabatnya itu melintas di hadapan mereka. Yang dimaksud, cuma cengar-cengir dan menghampiri Izzy dan Alvi lantas nimbrung duduk bersama mereka.
“Maaf-maaf, khilaf ana,” seloroh Nadin.
“tuh kan, kena omel “miss duduk” lagi, hehe” canda Anna. Karena keseringan mengucapkan kata duduk, Izzy sampai dijuluki “miss duduk” oleh Anna dan teman-temannya.
“Eh, tapi kenapa ya kita gak boleh makan dan minum sambil berdiri?” Tanya Eha polos. Perasaan baru kemarin deh kak Maya bilang alasannya, batin Icha, oh iya, eha kan gak ikut rohis kemarin, hehe, batin Icha lagi sambil terkekeh.
 “itu karena Rasulullah aja makan dan minum sambil duduk bersila dan menggunakan tangan kanan,” ucap Alvi mengulang ucapan Kak Maya kemarin.
“iya, terus Pak Ahmad tempo hari juga bilang begitu kan. Kalo kita makan dan minum sambil berdiri berarti kita sama dengan kuda yang juga makan dan minum sambil berdiri, dong,” tambah Izzy mengulang kata-kata guru favoritnya dengan bersemangat.
“Iya, iya…” ucap Nadin dan Icha berbarengan, lesu.

Icha seperti teringat sesuatu, “guys, minggu depan kan ujian kesenian. Kita kan ada tugas kelompok!”
“oia! baru inget! tugas kelompoknya memainkan alat musik kan?” Tanya Izzy meminta pembenaran.
“Aku sekelompok sama kamu ya, Cha?” Tanya eha. Icha membalas dengan anggukan.
“kita sekelompok, Vy, Na,” ucap Izzy. Izzy, Alvi dan Nadin berada di kelas yang sama. Sementara Eha, Icha, dan Anna ada di kelas 2.1. “ngerjainnya di rumah siapa?”
“Tentu aja di basecamp!” sambung Nadin yang kali ini terlihat bersemangat. Basecamp yang dimaksud adalah rumahnya Izzy. “Asyik, seminggu ini aku ada alasan buat pulang sore,” ucapnya lagi. Dasar Nadin, hehe…
“Ya udah, kita omongin lagi nanti. Sepuluh menit lagi kita masuk nih, dhuha yuk!” ajak Alvi sambil melepas sepasang sepatunya.

Kelima temannya takjim mengiyakan dan bersiap untuk masuk ke dalam masjid. sampai terdengar suara, Klang! (suara kaleng dibuang), “Icha, sampah cola-nya jangan dibuang sembarangan!” seru Izzy sambil menunjuk sampah itu dengan sepatu talinya. “hehe.. maaf,” ucap Icha.
-sf-




Desember 2006, tingkat satu sekolah menengah atas

Surat kita

Siang itu panas matahari begitu terik menerpa wajah Izzy. Sesekali dia menyeka keringat yang bercucuran di dahinya. Tidak seharusnya dia pergi hari ini. Tapi apa boleh buat, surat ini harus diantarkan sekarang karena besok mungkin ia tak sempat untuk pergi ke kantor pos terdekat yang jaraknya hampir 2 km dari rumah.
Tangannya yang berkeringat sesekali di seka dengan saputangan. Di sana  ada sebuah amplop besar dan sebuah amplop kecil.  Dasar Izzy, sudah tahu panas terik, ia malah memilih berjalan kaki. Kebiasaan hematnya tidak pernah berubah sedikitpun bahkan setelah lulus dari sekolah menengah pertama. Padahal kalau naik angkot paling ongkosnya hanya seribu rupiah karena ia masih pelajar.

Selama perjalanan Izzy mengingat kembali surat pertamanya untuk seseorang yang sangat disayanginya. Amplop kecil itu adalah surat untuk Alvi, sahabatnya. Tiga tahun menjalin persahabatan bukanlah waktu yang singkat. Persahabatan yang terjalin di antara mereka begitu berkesan. Tapi sebelum upacara kelulusan sekolah, Alvi sudah pindah ke Jogjakarta mengikuti keluarganya dan melanjutkan pendidikan menengah atas di sana. Alvi pergi begitu saja tanpa mengucapkan salam perpisahan secara langsung dengan teman-temannya yang membuat Izzy dan kelima sahabatnya terkejut dan kecewa. Bahkan, hadiah kelulusan untuk Alvi sebagai lulusan ketiga terbaik di kelas pun tidak sempat ia terima. Sebagai gantinya, Izzy yang menyimpan hadiah itu.

“Avy (panggilan akrab Izzy untuk Alvi), hadiahmu ini akan kuberikan ketika nanti kita bertemu lagi ya. Sebenarnya bisa saja kukirimkan hadiah ini beserta dengan surat dari ku, tapi sesuai janji yang pernah Avy katakan, Avy janji bertemu dengan ku dan teman-teman untuk mengucapkan salam perpisahan dengan baik, kan?”  Izzy berbicara pada dirinya sendiri seraya menatap rimbun pohon bougenville yang menjulang di pinggir jalan.

Izzy tiba di persimpangan jalan terakhir yang membawanya ke dapan kantor pos yang menjadi tujuannya. Ia pun melangkah masuk melewati pintu kaca yang baru direnovasi sebulan yang lalu. Tidak banyak orang yang mengirim surat siang itu. Hanya ada seorang ibu yang sedang duduk di ruang tunggu, Seorang pemuda yang sedang berdiri di meja petugas untuk menyerahkan surat yang akan dikirim, dan seorang petugas paruh baya yang sedang melayani mereka.  Karena sudah terbiasa berkirim surat, Izzy segera menuju loket pembelian perangko dan meminta dua buah perangko 3000 kepada petugas. Perangko 3000 di masa itu sudah termasuk perangko kilat yang didahulukan pengirimannya.  Satu untuk amplop besar coklatnya yang berisi gambar anime yang dia buat untuk dikirimkan ke salah satu majalah anime favoritnya. Dan satu lagi untuk surat Alvi.

Selesai menempelkan kedua perangkonya, Izzy bergegas menuju meja petugas karena lima menit lagi kantor pos akan tutup. “Terimakasih,” ucap Izzy ketika menyerahkan dua amplopnya ke petugas yang langsung meletakkan surat itu ke dalam sebuah keranjang beserta surat-surat lainnya yang lebih dulu ada.
Ia pun memutuskan untuk segera pulang. Izzy merasakan ada yang tidak beres dengan kepalanya yang terasa senut-senut dari tadi. Benar saja, ketika akan naik ke mobil angkutan yang mengarah ke rumahnya, tiba-tiba, BRUK! Izzy terjatuh di aspal. Pandangannya seketika menjadi buram dan semakin gelap. Samar ia melihat wajah Anna. Izzy tidak sadarkan diri. 
~~~
“Izzy! Izzy!” Suara Anna yang mencoba menyadarkan Izzy dari pingsan. Anna panik sekali begitu melihat sahabatnya,  Izzy,  jatuh ke aspal waktu akan naik ke mobil. Untung saja, saat itu Izzy bertemu dengan Anna, kalau tidak entah bagaimana keadaannya sekarang. Selesai memastikan Izzy baik-baik saja di dalam mobil, Anna mengantar Izzy sampai di depan gang rumahnya. Izzy yang memaksa.
“Zy, aku antar sampai rumah yaa..,” ucap Anna yang masih panik.
Izzy malah tersenyum sangat lebar, “hehe.. Anna, aku gapapa kok! Aku aja bingung kenapa bisa pingsan. Padahal aku kan udah sarapan… Eh, tadi aku beneran pingsan ya?” Tanya Izzy meminta keyakinan dari sahabatnya itu.

Anna yang tadinya panik jadi tertawa, “ckck… aku jadi ragu kamu ini beneran lagi sakit atau gak sih? bisa-bisanya masih bercanda,” jawabnya sambil menepuk-nepuk pundak Izzy. Mereka berduapun berpisah di sana. Izzy mempercepat jalannya karena ia tahu Anna masih melihatnya sampai Izzy menghilang di simpang jalan.

“Sakit..” lirih Izzy ketika memasuki pintu rumah. Ia langsung merebahkan tubuhnya ke atas kasur lengkap dengan sepatu dan tas ransel yang masih tergantung di pundaknya.



Waktu Kecilku: Vespa berwarna biru.
Waktu kecilku, aku ingat vespa berwarna biru itu. Birunya seperti biru telor asin. Papa selalu mengajakku berkendara dengannya sekedar hanya untuk mengitari komplek rumah kami. 

Waktu itu, walau hanya dibonceng papa naik vespa, rasanya aku senang sekali. Aku masih ingat semilir angin yang mengelus lembut anak-anak poniku. Rambutku yang pendek dengan belah tengah. Waktu itu sepertinya aku masih duduk di taman kanak-kanak. Dan singgasanaku selalu di depan bagian vespa, tempat pijakan kaki Papa. Aku selalu duduk di depan, sampai adikku mulai bisa berjalan dan tempat singgasana akupun digantikan olehnya. 

Aku ingat, sepanjang perjalanan, Papa pasti selalu menceritakan banyak hal. Waktu itu, aku sangat menikmati semua ceritanya. Seru sekali. Sesekali Mama yang duduk di belakang akan membetulkan bajuku bila tertiup angin.  Aku ingat, malam itu adalah malam terakhir aku duduk di depan, kami berempat pulang ke rumah. Aku duduk dengan Mama dibelakang dan adikku yang bawel mengambil tempat kesayanganku. Mulai dari saat itu timbul pemahaman baru di benakku, mulai sekarang akan ada yang berubah. Aku adalah seorang kakak. Sebuah nama yang hadir dengan tanggung jawab di dalamnya.

Waktu kecilku: Catatan di sampul buku

Waktu kecilku, setiap berulangtahun aku selalu diajak mama pergi ke minimarket dekat rumah. Dan ada tiga hal yang pasti selalu aku beli di sana. Permen karet Barbie rasa anggur dengan stiker berhadiah di dalamnya, stiker boneka, dan manisan gula-gula kapas. Mama sampai hapal apa yang akan kubeli. Senangnya setengah mati. Anak kecil polos yang puas dengan belanjaan tiga macamnya.

Tapi ulangtahunku tahun itu, aku ingat membeli sebuah diary kecil. Mungkin waktu itu aku masih duduk di bangku sekolah dasar.  Diary yang bergambar tokoh kartun kesayangan. Sepulangnya dari sana, aku menyodorkan buku itu pada Papa. dan minta untuk dituliskan kata ucapan selamat ulang tahun. Karena di kelasku waktu itu sedang trend menulis ucapan dari teman-teman sekelas. Jadilah, papa yang bingung memandang buku itu lama. Aku masih ingat sekali apa yang ditulisnya:

Pesan Papah.
Tahun 2001 s/d hari tua...
Sipat manusia adalah
-ingin melihat/ingin tahu sekecil apapun.
-Jika kamu ingin menjadi orang yang pintar
-Bagi waktumu sebaik-baiknya. Seperti pohon buah semakin besar semakin kokoh akarnya.

Waktu kecilku: Topi merah berkepang dua

Waktu kecilku, mama hobi sekali membelikan baju dengan model sama tapi ukuran berbeda untuk aku dan adikku yang bawel. Tidak hanya baju, bahkan tas, sepatu, mainan,  buku, sampai urusan aksesori rambut. Aku baru sadar hal ini baru-baru ini. Ketika melihat banyak gambar diriku di album poto berpakaian dengan model hampir sama dengan adikku yang bawel dari ujung kepala hingga ujung kaki. Kata mama biar ga ada yang iri. Aku senang-senang saja waktu itu. Anak kecil yang polos.

Nah, yang jadi urusan di sini adalah perkara aksesori rambut. Kira-kira adikku yang bawel itu usianya baru tiga atau empat tahun. Kami sekeluarga sedang berlibur ke pantai ancol. Di masanya, tempat tersebut sangat prestisus. Jarang-jarang kami bisa ke tempat seperti ini.

Ada sebuah topi berwarna merah dengan kepang dua di sisi kiri dan kanannya. Lagi trend saat itu. Aku dan adikku yang bawel seperti biasa dibelikan sepasang oleh mama. Punya adikku yang bawel, kepangnya hanya satu di belakang. Tapi ia menghilangkannya. Dan jadilah sejak saat topinya hilang, adikku yang bawel itu semena-mena menjadikan topi milikku sebagai miliknya. Tak terkecuali hari itu. Aku masih ingat, aku sedang menulis sesuatu di pasir, lalu tiba-tiba muncul ide jahil di otakku. Aku merebut topi (yang seharusnya punyaku) dari kepala adikku yang bawel. Dan dengan sekuat tenaga, ia menangis sejadi-jadinya dengan keras sekali membuat mama, para tante, juga  adik sepupuku yang lain langsung mengerubungi kami dan menjadikan aku tertuduh tunggal ,hehe. Jadi kakak itu memang merepotkan. Gara-gara teriakannya itu, aku terpaksa menyerahkan topi milikku kembali untuk adikku yang bawel. Dan setiap malam sejak hari itu, ketika adikku yang bawel sudah tertidur, aku sering terbangun hanya untuk mencoba mengenakan topi berkepang dan mematut diri di depan cermin. Mengagumi betapa cocoknya topi berkepang dua itu untukku.

Setelah dewasa, aku baru menemukan sesuatu. Ternyata dalam insiden itu ada omku yang iseng menggambil gambar aku dan adikku yang bawel yang matanya sembab beserta topi berkepang dua di kepalanya, kami sedang duduk saling membelakangi di bawah naungan pohon kelapa.

Waktu kecilku: balada warung

Waktu kecilku, mama sering sekali meminta tolong pada aku kecil yang usianya masih tiga tahun pergi ke warung untuk membeli pisang goreng, rokok untuk papa, dan aneka barang dapur lainnya. Samar aku mengingat, rumahku saat itu bercat putih dengan tempelan ubin di dindingnya. Ada banyak tanaman hias rimbun di teras rumah.

Aku kecil dengan santainya melangkah pergi ke warung, dengan menggenggam erat uang di tangan kananku sambil mengemut lollipop dengan berpakaian ala kadarnya, ala anak kecil yang cuek dan polos. Sambil berteriak pada ibu penjaga warung, “beliiii…. bellii pishang goleng buuu,” Lucu sekali.

Waktu kecilku: Meniru televisi

Waktu kecilku, aku suka sekali menonton televisi (sampai kini kebiasaan itu belum berubah). Aku belum masuk sekolah. Itu kepindahan rumahku yang kedua. Aku sedang menonton televisi, dan ada salah satu iklan permen karet yang sangat aku suka. Karena memakai bahasa yang terdengar asing di telingaku saat itu. Sekarang kuketahui kalau itu adalah bahasa inggris.

Papa sedang duduk menonton bersamaku, mama juga ada di sana. Dan setiap ada iklan itu muncul di televisi, dengan spontan aku langsung berdiri dan menyanyikan jingle lagu iklan permen karet sambil berjoget ria. Dari satu iklan, merembet ke iklan lainnya. Jadilah, setiap iklan mengambil alih acara, aku akan berdiri dan meniru setiap ucapan yang ada di setiap iklan dengan sempurna dan lancar sambil berteriak dan berseru, hehe..  

Waktu kecilku:…,

Ah, semua itu sudah lama berlalu. Bahagianya masa kecil. Aku seperti ingin kembali ke masa itu. Masa ketika aku masih bisa menemukan vespa biru dengan papa memboncengku. Masa ketika permen karet Barbie adalah hal yang paling menyenangkan di alam semesta. Masa ketika masih kutemukan topi merah berkepang dua terlihat manis di kepalaku. Masa di mana aku bisa menemukan mama dan papa selalu tersenyum dan tertawa melihat tingkahku yang lucu. Masa-masa yang kini sudah menjadi kerlip bintang di hatiku yang sepi.  Yang tersisa dalam bingkai kenangan.