twitter




Desember 2006, tingkat satu sekolah menengah atas

Surat kita

Siang itu panas matahari begitu terik menerpa wajah Izzy. Sesekali dia menyeka keringat yang bercucuran di dahinya. Tidak seharusnya dia pergi hari ini. Tapi apa boleh buat, surat ini harus diantarkan sekarang karena besok mungkin ia tak sempat untuk pergi ke kantor pos terdekat yang jaraknya hampir 2 km dari rumah.
Tangannya yang berkeringat sesekali di seka dengan saputangan. Di sana  ada sebuah amplop besar dan sebuah amplop kecil.  Dasar Izzy, sudah tahu panas terik, ia malah memilih berjalan kaki. Kebiasaan hematnya tidak pernah berubah sedikitpun bahkan setelah lulus dari sekolah menengah pertama. Padahal kalau naik angkot paling ongkosnya hanya seribu rupiah karena ia masih pelajar.

Selama perjalanan Izzy mengingat kembali surat pertamanya untuk seseorang yang sangat disayanginya. Amplop kecil itu adalah surat untuk Alvi, sahabatnya. Tiga tahun menjalin persahabatan bukanlah waktu yang singkat. Persahabatan yang terjalin di antara mereka begitu berkesan. Tapi sebelum upacara kelulusan sekolah, Alvi sudah pindah ke Jogjakarta mengikuti keluarganya dan melanjutkan pendidikan menengah atas di sana. Alvi pergi begitu saja tanpa mengucapkan salam perpisahan secara langsung dengan teman-temannya yang membuat Izzy dan kelima sahabatnya terkejut dan kecewa. Bahkan, hadiah kelulusan untuk Alvi sebagai lulusan ketiga terbaik di kelas pun tidak sempat ia terima. Sebagai gantinya, Izzy yang menyimpan hadiah itu.

“Avy (panggilan akrab Izzy untuk Alvi), hadiahmu ini akan kuberikan ketika nanti kita bertemu lagi ya. Sebenarnya bisa saja kukirimkan hadiah ini beserta dengan surat dari ku, tapi sesuai janji yang pernah Avy katakan, Avy janji bertemu dengan ku dan teman-teman untuk mengucapkan salam perpisahan dengan baik, kan?”  Izzy berbicara pada dirinya sendiri seraya menatap rimbun pohon bougenville yang menjulang di pinggir jalan.

Izzy tiba di persimpangan jalan terakhir yang membawanya ke dapan kantor pos yang menjadi tujuannya. Ia pun melangkah masuk melewati pintu kaca yang baru direnovasi sebulan yang lalu. Tidak banyak orang yang mengirim surat siang itu. Hanya ada seorang ibu yang sedang duduk di ruang tunggu, Seorang pemuda yang sedang berdiri di meja petugas untuk menyerahkan surat yang akan dikirim, dan seorang petugas paruh baya yang sedang melayani mereka.  Karena sudah terbiasa berkirim surat, Izzy segera menuju loket pembelian perangko dan meminta dua buah perangko 3000 kepada petugas. Perangko 3000 di masa itu sudah termasuk perangko kilat yang didahulukan pengirimannya.  Satu untuk amplop besar coklatnya yang berisi gambar anime yang dia buat untuk dikirimkan ke salah satu majalah anime favoritnya. Dan satu lagi untuk surat Alvi.

Selesai menempelkan kedua perangkonya, Izzy bergegas menuju meja petugas karena lima menit lagi kantor pos akan tutup. “Terimakasih,” ucap Izzy ketika menyerahkan dua amplopnya ke petugas yang langsung meletakkan surat itu ke dalam sebuah keranjang beserta surat-surat lainnya yang lebih dulu ada.
Ia pun memutuskan untuk segera pulang. Izzy merasakan ada yang tidak beres dengan kepalanya yang terasa senut-senut dari tadi. Benar saja, ketika akan naik ke mobil angkutan yang mengarah ke rumahnya, tiba-tiba, BRUK! Izzy terjatuh di aspal. Pandangannya seketika menjadi buram dan semakin gelap. Samar ia melihat wajah Anna. Izzy tidak sadarkan diri. 
~~~
“Izzy! Izzy!” Suara Anna yang mencoba menyadarkan Izzy dari pingsan. Anna panik sekali begitu melihat sahabatnya,  Izzy,  jatuh ke aspal waktu akan naik ke mobil. Untung saja, saat itu Izzy bertemu dengan Anna, kalau tidak entah bagaimana keadaannya sekarang. Selesai memastikan Izzy baik-baik saja di dalam mobil, Anna mengantar Izzy sampai di depan gang rumahnya. Izzy yang memaksa.
“Zy, aku antar sampai rumah yaa..,” ucap Anna yang masih panik.
Izzy malah tersenyum sangat lebar, “hehe.. Anna, aku gapapa kok! Aku aja bingung kenapa bisa pingsan. Padahal aku kan udah sarapan… Eh, tadi aku beneran pingsan ya?” Tanya Izzy meminta keyakinan dari sahabatnya itu.

Anna yang tadinya panik jadi tertawa, “ckck… aku jadi ragu kamu ini beneran lagi sakit atau gak sih? bisa-bisanya masih bercanda,” jawabnya sambil menepuk-nepuk pundak Izzy. Mereka berduapun berpisah di sana. Izzy mempercepat jalannya karena ia tahu Anna masih melihatnya sampai Izzy menghilang di simpang jalan.

“Sakit..” lirih Izzy ketika memasuki pintu rumah. Ia langsung merebahkan tubuhnya ke atas kasur lengkap dengan sepatu dan tas ransel yang masih tergantung di pundaknya.

0 komentar:

Posting Komentar