Natsu/Musim Panas (Juni,
Juli, Agustus)
Siang itu udara terik
sekali. Rasaanya kamarku ini seperti dalam oven saja. Satu bulan telah lewat,
Kuniko masih sibuk dengan kelas pelajaran tambahan yang harus diikutinya.
Kasihan juga meliharnya, ck..ck.., Ku-Chan, Ku-Chan.
Sudah lewat satu bulan ini
pun, Sakurako belum kembali ke asrama. Semua sedang sibuk dengan aktivitasnya
masing-masing, kecuali satu orang yang sedang asyik di teras atas tempat favoritnya. Siang itu Aiko memang
sedang tidak ada kerjaan, tugas-tugas makalah dari guru baru rampung setengah
dikerjakannya. Di atas sana, seperti biasa Aiko tengah mendinginkan kepala.
Buku catatan di hadapannya sudah penuh dengan dengan coretan ide-ide finishing makalah. Hanya tinggal
menunggu pinjaman laptop Nishi, batin Aiko. Sayang sekali di saat seperti ini
komputer desktop di lantai mezzanine kamarku yang biasa dipakai
oleh Aiko sedang dalam masa perawatan rutinnya.
Untuk
urusan laptop. Nishi memang paling cerewet. Laptop milik Nishi tidak ada bedanya
dengan laptop baru yang terpajang di etalase toko. Masih mulus sekali, hehe..
Nishi memang sangat telaten pada barang-barangnya, terutama laptop
kesayangannya.
Sebenarnya Aiko bisa saja meminjam laptop Kuniko, tapi gara-gara
nilainya jeblok di ujian grade kemarin,
guru pembimbingnya menyita laptop Kuniko selama masa perbaikan nilai. Walhasil,
mau tidak mau Kuniko harus menebus latopnya dengan belajar sungguh-sungguh.
Dan
kalau meminjam laptop milik Yumiko, dijamin Aiko pasti pusing sendiri. Karena
laptop Yu-Chan sudah penuh menjadi korban praktek aplikasi dan software desain animasi buatannya. Semua
file dan program menjadi ikon anime
Naruto dan semuanya berbahasa aneh yang hanya Yu-Chan yang mengerti. Kebayang
kan, mungkin untuk mengetik satu paragraf saja butuh waktu berjam-jam bagi Aiko
yang lebih senang menulis di atas kertas ketimbang mengetik di layar monitor.
Tiba-tiba
mata Aiko tertuju pada bayangan seseorang di jalan yang sangat dikenalnya.
Dengan panggilan khasnya, Aiko berteriak,
“Ku-Chaan!!” Panggil Aiko sambil
melambai-lambaikan tangannya.
Kuniko
menengadahkan wajahnya ke atas bangunan asrama. Hanya titik hitam yang terlihat
di sana. mata minusnya tidak begitu jelas melihat benda-benda yang jauh tanpa
kacamata. Tapi dari suara itu, Kuniko langsung tahu, itu pasti si usil Aiko.
Hari itu Kuniko baru mengikuti pre test
pertama dari masa tiga bulan kelas tambahan di musim panas untuk perbaikan nilainya.
Dari wajahnya, sepertinya hasil ujian kali ini tidak terlalu baik.
“fiuh..” hela napas Kuniko saat merebahkan
tubuh di atas kasur empuknya.
(Suara
hentakan kaki menuruni tangga)
Derap-derap
langkah terdengar menuruni tangga mezzanine.
“Hai, Ku-Chan! Gimana hasilnya???”
Tanya Aiko penuh semangat.
Tadi
pagi sebelum berangkat, Kuniko meminta “restu” pada teman-temannya untuk ujian pre test hari ini. Namun tidak ada
jawaban darinya. Aiko langsung tahu, pasti tidak terlalu baik.
“Hei, Ku-Chan.. Pernah dengar cerita
si Einstein penemu bola lampu itu gak?” Tanya Aiko. Tidak ada jawaban lagi,
Aiko pun melanjutkan ceritanya, “ Dulu Pak Einstein tua sering di ejek oleh
teman-temannya karena tidak pernah berhasil dalam percobaan yang dianggap ide
konyol oleh orang-orang di sekitarnya. Tapi, Ku-Chan tahu gak apa yang
diucapkannya saat dibilang bahwa ia tidak akan pernah berhasil? Dia berkata,
sungguh sebenarnya aku tidak pernah gagal. Aku justru telah berhasil menemukan
9.999 cara yang telah membuat percobaan ini gagal dan untuk itu aku bisa
mencari cara lainnya agar tidak gagal lagi,” Aiko bercerita sambil menirukan
suara berat bapak-bapak, hehe..
Sambungnya, “Dan pada percobaannya
yang ke 10.000, akhirnya Pak tua yang dianggap aneh itu berhasil menemukan bola
lampu. Eh, Ku-Chan.. kalau waktu itu Pak Einstein berhenti mencoba, pasti
sekarang mungkin dunia masih gelap gulita ya, hehe..” tutup Aiko sambil
terkekeh, geli sendiri dengan ceritanya.
Kuniko lantas terduduk di atas
tempat tidurnya, “Hm.. si penemu itu pernah gagal juga ya. Ngomong-ngomong,
penemu bola lampu itu bukannya Isaac Newton ya?” ucap Kuniko dengan wajah
kemenangan karena berhasil menjahili Aiko.
Aiko langsung teringat, “ Oh iya ya,
hihi.. Ya, pokoknya nobody’s perfect
deh, ya ‘kan? Mau coklat?” sodor Aiko.
(Terdengar
suara pintu dibuka)
“Aku pulang!!” Sapa Yumiko, “ Waah..
Coklat.. Mm.. pasti punya Ai ya?” ucap Yumiko saat melihat coklat di tangan
Kuniko.
“Ini untuk Ku-Chan, Ini untuk
Yu-Chan,” kata Aiko samil mematah-matahkan batang coklat kesukaannya, “ Nishi-Chan
tidak pulang bareng Yu-Chan?”
“Mm.. Nishi sedang ada dateline di klub jurnalistiknya. Karena
sebentar lagi kegiatan belajar akan usai dan tahun ajaran baru, dia dan klubnya
sedang mempersiapkan majalah edisi akhir tahun. Tadi aku baru saja dari sana. Mm..
dia kelihatan sibuk sekali,”
“Aku jadi ingin tahu, kalau Nishi sedang serius seperti apa ya??” Kuniko
mereka-reka. Hh.. dasar ^^
“Jadi ingat, biasanya sakurako yang
memberikan coklat ini kalau kita sedang bosan atau sedih. Mm.. Aku jadi kangen.
Apa sakit Ibunya kali ini sangat buruk, ya?” ucap yumiko.
“Kuharap tidak. Ayo kita semua
berharap yang terbaik! Untuk kesembuhan Ibunya Sa-Chan, untuk kelancaran dateline majalah Nishi, untuk kemudahan
Ku-Chan di kelas tambahannya dan untuk keberhasilan Hana di ujiannya kali ini,”
ucap Aiko, “oh iya lupa, buat Yu-Chan juga. Semoga mimpi Yu-Chan sebagai
komikus terwujud dan impianku untuk keliling dunia juga,” Aiko optimis.
“Aamiin…” Ku-Chan dan Yu-Chan
menjawab kompak.
-HT-
Musim
panas tahun itu sudah mencapai puncaknya. Di tengah suhu panas yang menyergap,
teman-temanku –Aiko, Nishi, Hana, Kuniko, dan Yumiko- berjibaku mempersiapkan
diri masing-masing untuk menghadapi ujian kelulusan dan ujian masuk perguruan
tinggi. Begitu juga dengan Sakurako. Tapi bahkan satu bulan berlalu, ia belum
juga menampakkan dirinya.
Kalender di dinding dapurku penuh dengan
coretan-coretan dan di sana ada satu tanggal yang dilingkari dengan gambar kue
tart. Itu hari ulang tahun Sakurako, tepatnya tanggal 10 Juni. Dan hari ini
sudah lewat satu bulan sejak hari ulang tahunnya.
Di
sudut ruanganku, di atas meja belajar Hana, ada satu hari di kalender miliknya
yang dilingkari dengan spidol warna merah muda, warna kesukaannya. Di sana
tertulis, “masa depanku”. Hari pengumuman hasil ujian masuk Sekolah Tinggi
Statistik yang diikuti Hana satu bulan lalu. Dan hari pengumuman itu adalah
hari ini. Pagi-pagi sekali sebelum semuanya terbangun, Hana sudah melangkah
pergi ke tempat pengumuman. Hari ini adalah hari yang paling ditunggu-tunggu
oleh Hana selama kurang lebih enam tahun terakhir hidupnya. Menjadi mahasiswa
di sana adalah mimpi besarnya. Itu sebabnya ia memilih jurusan ilmu stastistik
dan itulah alasan Hana belajar tekun setiap harinya, untuk satu hari itu dan
hari yang dinantikannya telah tiba.
Dan
sejak sekembalinya Hana dari sana, sedikitpun dia tidak bergerak dari meja
belajarnya. Aku melihatnya seperti itu, dan aku ingin menghiburnya. Tapi tak
ada daya pada diriku. Hana terlihat sedih sekali. Kedua matanya terlihat
sembab. hari masih siang saat Hana pulang, sehingga yang lainnya masih berada
di luar sana dengan kegiatannya masing-masing.
-HT-
“Hana…”
ucap Aiko sambil merangkul bahu Hana.
Keadaan
Hana masih sama, Hana tampak terpukul sekali dengan apa yang dialaminya.
Setelah Nishi mencoba keras untuk mencari tahu lewat internet dan sumber
lainnya, barulah ia, Kuniko, Yu-Chan, dan Aiko paham apa yang sebenarnya
terjadi. Karena berkali-kali pun mereka bertanya pada Hana apa yang terjadi,
Hana tak pernah mau membuka suaranya.
Hana tidak terdaftar dalam daftar nama calon
mahasiswa yang diterima di Sekolah Tinggi Statistika itu. Dan hal ini telah membuat
suasana kamarku bagaikan digantungi awan gelap. Siapapun tahu, tidak ada hal
yang lebih diinginkan Hana selain menjadi mahasiswa di sana.
Namun, hari-hari kelabu itu
tampaknya tak ingin menggantung lama. Bagai pelangi yang muncul setelah hujan,
dua hari kemudian Hana terlihat kembali bersemangat. Ia bahkan bangun lebih
pagi dari teman-temannya. Saat Aiko membuka mata pagi ini, wangi bunga krisan
kering yang diseduh menjadi teh, memenuhi ruangan kamar asrama. Hana telah
bangkit kembali, ya, itulah Hana yang kukenal. Ruangan kamarku kembali dipenuhi
warna-warni hiasan bunga yang setia mekar di musim panas.
(Suara kamera diputar, blitz!)
Tiba-tiba kilatan lampu blitz kamera
menghadang Hana yang sedang membawa sarapan pagi ke meja tengah.
“Pagi, Hana!” sapa Nishi yang iseng.
“Nishi, mengagetkanku saja. Wajahku
pasti terlihat jelek di kamera!” ucap Hana.
“Hehe.. Cuma mau tes kamera kok.
Hm.. ngomong-ngomong ada acara apa hari ini? Pagi-pagi sudah begitu
bersemangat?” kata Nishi tersenyum.
“Tidak ada. Aku hanya merasa senang
hari ini. Ayo semuanya, sarapan!” seru Hana. Melihat Hana, Nishi tahu kalau
kesedihannya pasti sudah berlalu. Waktu memang obat terbaik untuk menyembuhkan
segala luka.
Yumiko, Kuniko, dan Aiko segera ke
meja tengah begitu mendengar seruan sarapan Hana. Hari itu mereka libur, libur
musim panas tepatnya. Namun bukan liburan yang tenang, mengingat musim dingin
nanti ujian perguruan tinggi akan di gelar.
Tiba-tiba suara deringan telepon
menghentikan tawa mereka pagi itu. Aiko bergegas bangkit dan sigap mengangkat
telepon.
“Halo? Aiko?” suara di ujung
telepon.
Sangat akrab dengan suara satu itu,
Aiko sontak berseru, “ Sa-Chan!!!”
Lalu mereka yang tadinya asyik
menikmati sarapan, langsung mengerubungi Aiko dengan teleponnya. Walau aku tahu
suara di telepon itu mustahil terdengar, tapi Hana, Nishi, Yumiko, dan Kuniko,
takjim berdiri di sana.
Hubungan telepon pun diputus. Dengan
wajah sumringah, Aiko mencoba mengatakan yang didengarnya dengan perlahan dan
jelas.
“Sa-Chan, akan pulang malam ini!!!”
seru Aiko.
Tanpa dikomandoi, mereka semua ikut
berseru riang. Kepulangan Sa-Chan entah bagaimana seperti menggenapi sesuatu
yang hilang. Apalagi kepulangannya bertepatan dengan momen ulangtahun Sakurako
yang belum mereka rayakan. Berbagai ide penyambutan menari-nari di atas kepala
mereka. Senangnya… ^^
-HT-
Langit berbintang merambah angkasa.
Jika saja dengan menghitung bintang waktu dapat bergulir lebih perlahan, sudah
tentu akan kulakukan untuk membuatku dapat lebih lama lagi menikmati
kebersamaan dengan mereka.
“Hei, Naruto-holic, setelah lulus nanti kamu akan lanjut kemana?” Tanya Kuniko
sambil mengigit kue kering buatan Hana di atas meja.
Yumiko bercerita, keinginannya sejak
dulu adalah menjadi pengarang komik dan bisa berbagi ide-ide dan semangat lewat
komik yang dibuatnya. Dan aku tahu hal itu sangat mungkin dilakukannya.
“Mm.. Tapi, aku tidak percaya diri,”
ungkap Yumiko, “ Cita-citaku ini tampaknya terlalu banyak berkhayal. Karena itu
aku mencoba untuk mengikuti ujian nanti. siapa tahu aku bisa masuk ke salah satu
jurusan yang mungkin aku bisa nikmati,” ucap Yumiko.
“Tapi kalau begitu, itu sama saja
Yu-Chan telah membuang mimpi, kan?” Aiko berucap, “ Yu-Chan yang aku kenal
adalah Yu-Chan yang berani dan selalu yakin dengan apa yang dijalaninya,” Aiko
mengakhiri kalimatnya dengan mengenggam erat tangan Yu-Chan.
Saat itu juga sesuatu terasa hangat
mengalir dari pelupuk mata Yumiko.
“Awalnya, aku juga merasa demikian,
Putus asa lebih tepatnya saat aku tidak diterima di Sekolah Statistik yang
menjadi keinginanku sejak dulu. Tadinya aku kira untuk itulah aku berada di
sini. tapi hal itu justru menyadarkanku, bahwa akulah yang telah membatasi
tujuan hidupku. Ternyata keinginanku yang sesungguhnya berada sangat dekat
dengan diriku,” Hana bercerita dengan penuh ketegaran, sambil menatap kerlip
bintang di angkasa.
Nishi lantas bertanya apa rencana
Hana selanjutnya. Secara mengejutkan Hana menjawab tidak akan mengikuti ujian
masuk perguruan tinggi.
“kamu yakin, Hana?” Tanya Sakurako.
“sangat yakin! Aku akan mengikuti
pendidikan menjadi seorang florist.
Setelah itu, akan kubuka toko florist-ku
sendiri,” jawab Hana dengan mantap, “Kalau Sakurako pasti juga begitu kan?
Menjadi seorang chef terkenal,” ucap
Hana seraya menyeruput segelas sirup leci.
Sakurako hanya tersenyum
mendengarnya. satu lagi yang mengagetkanku, Sakurako berkata ia akan ikut ujian
perguruan tinggi dan memilih fakultas MIPA -di salah satu universitas luar
daerah dekat rumahnya- sebagai tujuannya.
“Sayang sekali keahlian memasakmu,
Sakura,” seloroh Nishi.
“Aku juga berpikir hal yang sama.
Tapi keluargaku menginginkanku menjadi ‘somebody’
di masa depan. Di keluargaku, hampir semua anggota keluarga kami menjadi guru.
Ibupun ingin agar kelak aku menjadi guru sama seperti beliau. Kalau
dipikir-pikir tidak beda jauh ‘kan, memasak dengan guru MIPA?” Ucap Sakurako
membenarkan diri.
Yang lainnya hanya terdiam. Jelas beda kan, masak dan MIPA, hehe.. gumamku
tanpa bisa bersuara. sakurako memang ahlinya membuat padanan kata tak serasi,
hehe..
GIliran Sakurako yang berbicara,
“Gimana rasanya ikut pelajaran tambahan, Kuniko?” canda sakurako. Yang ditanya
justru tertawa sendiri.
“Kalian tahu, karena pelajaran
tambahan ini aku jadi menemukan cita-cita ku yang sebenarnya. Sepertinya desain
grafis bukan duniaku. Sekarang aku justru ingin menjadi seorang penerbit,” ucap
Kuniko.
“Penerbit??” Aiko heran sekali
dengan Ku-Chan. Kenapa ingin jadi penerbit?
“Hebat kan penerbit itu, dicari-cari
orang. Bisa jadi bos dan bisa menerbitkan buku yang penuh dengan ilmu. Setali
tiga uang kan?” Kuniko sungguh ambisius dengan cita-citanya.
“Ku-Chan, Ku-Chan.. Kalau begitu
nanti terbitin buku-buku yang aku tulis ya, hehe..” timpal Aiko.
Aiko geli sendiri melihat Kuniko
yang begitu sederhana dan polos dalam mimpinya tapi penuh dengan hasrat. Aiko
jadi berpikir tentang mimpi dan cita-citanya. Tidak pernah ia merasakan
kerinduan yang amat sangat untuk memiliki mimpi dan berusaha untuk meraihnya.
Aiko memandang kagum pada Nishi yang punya sejuta talenta. Nishi pasti tidak
kesulitan meraih apa yang diinginkannya. Dan pikirannya benar,
“Aku
ingin menjadi seorang peneliti. Bisa menemukan hal-hal baru yang bisa membantu
kehidupan banyak orang,” ungkap Nishi singkat.
“Kukira Nishi ingin menjadi seorang
animator dan desainer grafis. Karena itu kan kamu memilih kelas desain
animasi?” tanya Kuniko. Nishi memang sangat jago dalam bidang satu itu.
“Hanya iseng,” jawab Nishi singkat,
lagi-lagi. Sahabatku yang satu ini memang eksentrik. Iseng dipilihnya karena
memang hanya iseng ingin mencoba-coba.
“Hidup itu kan sementara, waktu yang
kita punya juga sama, 24 jam kan. Karena itu mumpung ada kesempatan untuk belajar
lebih banyak lagi, kenapa tidak?” ucap Nishi menjawab kebingungan
sahabat-sahabatnya.
Ucapan Nishi membuyarkan lamunan
Aiko.
“Ai,
apa cita-citamu?” Tanya Hana.
“Mm..
Iya nih Ai-Chan, aku juga ingin tahu,” ucap Yumiko yang kembali bersemangat
lagi.
Nishi,
Kuniko, dan Sakurako menatap Aiko, menunggu jawaban darinya. Tiba-tiba Aiko
berdiri dan berbalik menghadap wajah
sahabat-sahabatnya.
“Begini
saja. Sabar menunggu beberapa waktu lagi, ya. Akan kukirimkan cita-citaku pada
kalian nanti, ok!” Seru Aiko.
“Dikirimkan?
Apa maksudnya?” Kuniko bertanya-tanya.
“Ah,
sudahlah. ‘Kan kubilang beberapa waktu lagi, oke!” Aiko kembali membelakangi
mereka dan memandang langit di kejauhan, “Sekarang, 5..4..-“
Aiko
melirik jam ditangannya sembari menghitung mundur. Dan pada hitungan terakhir,
sontak langit musim panas yang tadinya berwarna hitam, dipenuhi oleh tembakan
kembang api yang menari-nari, datang dan pergi. Perayaan festival matsuri telah dimulai!
“Yei!!!
Ganbatte ne!!!” Teriak Aiko. Mereka semua pun hanyut dalam kemeriahan malam
itu.
Di
atas atap kamar asramaku, mereka
mendirikan tenda sederhana. Ada kue kering buatan Hana dan es sirup leci yang
tersaji. Tak lupa kue tart ulangtahun Sakurako yang dibuat bersama-sama oleh
Hana, Nishi, Aiko, Yumiko, dan Kuniko, juga ada di atas meja kecil di depan
tenda.
Ini
adalah matsuri kedua yang aku lalui bersama mereka. Dan mungkin akan menjadi
matsuri terakhirku bersama mereka,
sahabatku.
-HT-