twitter


"Lingkaran Cinta" yang terbaik adalah..
Ketika ia bisa mengasah setiap potensi istimewa 
yang dimiliki oleh masing-masing individu
Memaksimalkan mereka, 
hingga akhirnya bisa keluar dan tampil sebagai seorang "JUARA"
Bukan justru menghakimi, 
bukan menggurui, 
tapi menyatukan hati-hati mereka dengan hikmah.


Malam ini, aku sedang berpikir. .
Ketika manusia berada pada titik terbawah dalam hidupnya, maka di sanalah ujian itu datang. 
Dan Hati menjadi selalu rindu dengan Rabb-nya.
Pernahkah berada dalam posisi seperti ini? Disaat tidak lagi memiliki materi, di saat esok tetap harus menjalankan jadwal aktivitas yang lumayan padat. 
Semoga Allah membukakan jalan keluar yang terbaik.  
Jika saja langkah kaki ini harus berjalan, maka akan kulangkahkan penuh keyakinan akan ketetapan-Nya.
Jika saja para sahabat dulu sangat menyukai keadaan seperti ini, maka aku ingin mempelajarinya sedikit demi sedikit untuk menerima. 
Boleh jadi kita kehilangan materi, harta, jabatan, dan semua hal yang sementara, tapi kita tidak akan pernah kehilangan Dia. ^_^. Allah swt selalu dekat, di sini (hati).
***
Beberapa waktu lalu, aku mendengar tausyiah dari seorang ustadz. Beliau bercerita bagaimana sulitnya dahulu menghadiri majelis-majelis ilmu. 
Dengan semangat berapi-api, ingin sekali rasanya bisa meniru ikhwah yang menjadi tokoh dalam cerita ustadz tersebut. Ikhwah itu, rela berjalan kaki menempuh kejamnya jalanan ibukota dari Bintaro ke Bekasi hanya untuk mendatangi taman surga dunia yang durasinya bahkan tidak lebih lama dari perjalanannya ke sana. 
Padahal, kalau berhitung, uang ongkos yang apabila dikorbankan pun tak akan lebih dari mata uang berwarna ungu. Tapi sang ikhwah memang seringkali tidak punya uang sebanyak itu untuk pergi ke majelis ilmu pekanannya. Mendengar tausyiah itu membuat diri ini menjadi malu. Pengorbanan yang selama ini dikeluarkan untuk mencari ilmu tidaklah seberapa. Dan timbul semangat untuk meneladani beliau.
Namun, ternyata tekad dari bumi ini masih kerdil, belum-lah sekuat tekad sang ikhwah.
Dan akhirnya seperti yang pernah terjadi, -melewatkan pekan tanpa bertemu dengan penghuni taman surga dunia-   


Hari yang berlalu dengan satu lagi pelajaran tentang hidup.
Jangan pernah menilai sebuah buku hanya dari sampulnya. Ya, itu memang hal yang paling mudah untuk dilakukan. Tapi sampul saja tidaklah berhak untuk menghakimi buku itu baik atau buruk secara keseluruhan.

Pelajaran ini kudapat dari seorang sopir angkot yang mobilnya kutumpangi. Mobil yang aku tumpangi tersebut tiba-tiba saja berhenti. Kami terjebak kemacetan panjang. Dan akupun terpaksa menunggu. Padahal hari sudah semakin sore ketika aku pulang. Rasanya kesal sekali saat itu, karena tidak bisa berbuat apa-apa. Beberapa meter dari tikungan pertigaan jalan di depan kami, sang sopir tiba-tiba saja turun dari angkot. Bertambah-tambahlah kekesalanku, hehe. Lagi macet begini kenapa malah turun? gerutuku. Sementara, mobil-mobil mewah di belakang angkot yang kutumpangi, asyik menekan klakson mereka keras-keras. Bising sekali.
Ternyata, kau tahu apa yang terjadi selanjutnya? Sang sopir angkot tersebut turun dari mobilnya untuk  mendorong sebuah mobil angkot lainnya yang mogok. Angkot "tersangka" itu (hehe) mogok di tengah jalan yang menyebabkan kemacetan panjang terjadi. Dan lalulintas di sekitarnya pun kembali normal. Subhanallah...
Dan aku menjadi sadar. Kau tahu apa perbedaanku dan orang-orang di sekitar dengannya? Sang sopir angkot tidak lantas berdiam diri saja menunggu kemacetan itu terurai dengan sendirinya. Dia melakukan TINDAKAN dan memilih menjadi pemain. Sementara aku dan orang-orang lainnya justru puas hanya sebagai PENONTON dan merutuki keadaan.    

***
Dan pelajaran hidup berikutnya kudapat dari seorang adik yang sangat bersemangat untuk mengenal Islam lebih jauh. Setiap pekan kami bertemu, dan dia tidak pernah absen untuk datang. Meskipun secara penampilan, pakaian yang dikenakannya belum sempurna seperti yang disyariatkan dalam Islam. Tapi dia selalu memiliki rasa keingintahuan yang tinggi tentang agama yang kini dipeluknya. Agama yang menjadi rahmatan lil alamin. Dan dia berkeinginan kuat suatu hari nanti ingin memiliki kebaikan seperti figur shahabiyah yang selalu diperdengarkannya.

Bukankah mutiara terindah di seluruh lautan selalu ditemukan di tempat yang teramat sulit untuk dijangkau?
Kata-kata ini bukan lagi sebuah jargon klise bagiku. Karena aku telah melihatnya sendiri dan itu adalah benar. Bahwa, siapapun itu, setiap orang adalah istimewa.

"Pada hakikatnya setiap orang akan cenderung kepada kebaikan" ^_^

Dunia fana ini indah bila kita cenderung pada hal-hal yang baik yang mengantarkan kita mengumpulkan perbekalan akhirat, bukan?


Hari itu Azalea sedang duduk takjim di depan laptop. Kipas angin yang berada di hadapannya berputar tanpa henti ke kiri dan ke kanan tanpa kenal lelah. Udara siang itu sangat panas menyegat. Menurut sumber BMKG, cuaca ekstrem seperti ini akan berlanjut hingga akhir Agustus nanti.

Walau begitu, cuaca tidak bisa menyurutkan niat Azalea yang satu ini. Tiga jam ke depan, ia sudah harus bersiap untuk berangkat ke tempat les. Sebagai seorang guru privat yang baik, ^_^ Bahan mengajar untuk privat sudah terpenuhi sebagian, ia tinggal mencari beberapa soal lagi dan semuanya selesai. Ketika akan bersiap, terdengar suara derum sepeda motor yang amat dikenalinya. Lalu terdengar sapaan salam dari daun pintu rumah yang Azalea sudah dapat menebaknya. Ialah Sang Ibu. Satu-satunya wanita luarbiasa yang ia kenali dengan baik.  

Rutinitas ini sudah berlangsung begitu lama hingga menjadi kebiasaan baginya. Di jam-jam seperti ini, Sang Ibu memang sering datang mengunjunginya, dengan atau tanpa alasan yang jelas. Terkadang Sang Ibu memintanya melakukan sesuatu, berbincang dengan orang lain yang berada di rumah tersebut, atau hanya duduk diam sambil memandanginya lalu kembali pulang berpamitan. Seperti siang itu.

Azalea tidak begitu memperhatikan apa yang sedang Sang Ibu lakukan. Sampai ketika Sang Ibu datang dan berpamitan pulang sambil menyerahkan uang Rp 20.000,00 kepadanya. "ini uang jajan buat kamu," ucapnya sambil tersenyum dan berlalu pergi.

Azalea buru-buru menjawab, "udah nggak usah, bu.. saya ada kok.." sambil menyerahkan kembali uang tesebut pada Ibunya.

Sang Ibu lantas menjawab, "sudah nggak apa-apa, Ibu ada kok. Ini buat kamu. Jarang-jarang 'kan Ibu bisa kasih uang jajan sama kamu. Disimpan ya.." Sang Ibu pun beranjak pergi dari hadapannya.

Sejak tamat pendidikan menengah, selain uang sekolah, ia selalu berusaha memenuhi sendiri kebutuhan sehari-harinya termasuk uang jajan karena tidak ingin merepotkan Sang Ibunda. Tapi apa yang terjadi hari itu, sudah lama sekali rasanya Azalea tidak merasakan perasaan sebahagia itu. Nominal yang diberikan Sang Ibu memang tidak seberapa, toh honor dari satu kali mengajar privat besarnya hampir dua kali lipat dari uang tersebut. Tapi senyum Azalea hari itu tak henti-henti berkembang. terimakasih, Bu.. gumamnya.

Menerima sesuatu yang biasa-biasa saja 
dari seseorang yang istimewa, 
yang "biasa-biasa" itu akan menjadi istimewa pula. 
Itulah harga/nilai dari sebuah hal.
^_^


Mencari-cari alasan untuk membenarkan suatu pembenaran atas kondisi yang tidak sesuai harap memang lebih mudah, pun tak harus bersusah payah, berpeluh ria.

Tapi mencari solusi dan menghadapi kondisi yang tidak menyenangkan itu ternyata jauh lebih baik. Karena tanpa kita sadari, kita telah berhasil melewatinya.

Sesuatu tidak akan terlalu sulit jika kita benar-benar menjalaninya. Yang membuatnya sulit adalah jika kita terus saja hanya memikirkannya.

mencoba berdialog dengan diri sendiri.

ganbareba dekiru!!!! \\(^o^)//


Kadang dalam kesibukan dan padatnya aktivitas, seringkali kita melupakan hal yang penting. Yakni, waktu untuk meningkatkan level kemampuan dan potensi diri.

Seringkali karena sudah terlalu nyaman dengan kondisi yang ada, kadang atau bahkan sering rasa malas datang menyelusup ke dalam kalbu. Ia diam tapi melenakan.

Hingga akhirnya kita tiba pada satu titik, ketika kita bertanya pada diri sendiri,
Sudah sejauh mana kita melangkah?
Dan..
Apa saja yang telah kita semai dalam perjalanan tersebut? 

Sungguh rugi orang-orang yang lupa untuk meningkatkan kapasitas dirinya. Jika hari ini lebih baik dari kemarin dan esok lebih baik dari hari ini, maka kita sudah 'naik kelas'. Bersyukurlah untuk setiap waktu yang ada. Karena  waktu yang berlalu pergi, tidak akan pernah kembali.

Belajar untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi.


Pernah mengalami hal ini?

Di dalam dua sisi mata uang cuaca. Sebenarnya saat itu hampir-hampir ragu untuk melanjutkan perjalanan. Mendung dan awan gelap pekat sudah menggantung pasti. Titik-titik air juga perlahan mulai jatuh membuat gambar abstrak di atas kaca jendela belakang mobil angkutan perkotaan yang aku tumpangi. Ditambah suara guntur yang berdentum bersahutan membuat suasana menjadi agak 'mencekam'. Sudah dapat kubayangkan kemungkinan akan jadi seperti apa langit hari itu.
Menyesal sekali saat teringat payung merah tua berenda yang berkubah transparan, hadiah dari seorang sahabat, yang tidak terbawa serta saat berangkat tadi. Walaupun ukurannya yang besar dan terbilang tidak praktis untuk dibawa bepergian, tapi payung itu sangat membantu dalam guyuran hujan deras.
Mobil yang kutumpangi semakin melaju, pun hujan semakin melaju menderas. Kalau saja tidak sedang berada di bawah atap mobil ini, aku pasti sudah kuyup oleh curahan air dari langit sore itu. 
Bagaimana ini? tidak mungkin kan kalau pergi ke tempat mengajar dengan pakaian kuyup?, gumamku saat itu. 
Sambil terus berdoa, semoga saja langit berbaik hati menangguhkan curahnya sebentar saja hingga nanti aku tiba di tujuan. 

Dan...
Allah akan selalu mengabulkan do'a hamba-Nya.. ^_^

Seperti keajaiban, langit hitam pekat itu seketika tersibak, tepat sesaat sebelum aku harus berhenti di tempat tujuan. Aku tidak pernah tahu kemana kumpulan awan kumulonimbus pembawa hujan deras itu pergi. Yang kutahu pasti, Ia pergi menjauh digantikan oleh sinar matahari sore kejinggaan yang merona begitu indahnya.. Subhanallah...



Saat dalam perjalanan menuju tempat mengajar, seorang anak kecil berseragam pramuka menyetop mobil angkutan kota yang aku tumpangi. Badannya sedikit gempal. Kira-kira anak kecil tersebut duduk di kelas 3 atau 4 Sekolah Dasar.

Caranya duduk sangat lucu. Ia santai duduk di tempat duduk kecil di samping pintu angkot sambil membawa sekotak bungkus pizza. Seorang ibu penumpang yang penasaran dengan kotak pizza yang dibawanya, bertanya pada Si Anak,
"itu pizza, nak?" tanya si Ibu. Pertanyaan yang gak perlu dijawab sebenarnya, hehe..
"Iya," jawab Si Anak.
Si Ibu melanjutkan bertanya, "Wah, kamu makan pizza sebesar itu sendirian? Uang jajan kamu pasti banyak ya, Nak, sampai bisa beli pizza sebesar itu,"
Dengan lugunya ia menjawab, "nggak dong. Kan makannya bareng sama temen-temen. Aku tadi belinya patungan juga," celotehnya. Tanpa ditanya lagi, Si Anak asyik melanjutkan ceritanya, "tuh lihat..", katanya sambil membuka kotak pizza tersebut, "ini udah nggak ada isinya, cuma kotaknya aja. nggak ada isinya kaann...?" ucapnya sambil menunjukkan isi di dalam kotak itu.

Tentu saja Si Ibu dan penumpang yang tak sengaja mendengar percakapan itu (termasuk aku ^_^) menjadi heran, kotak kosong kok dibawa-bawa. Bukannya dibuang.
Anak kecil yang polos itu menjawab, "iya, ntar kan aku bisa ngerjain temen-temen, Bilang 'Mau pizza nggak?' Padahal di dalamnya udah kosong, hehe.." kelakarnya. Seluruh penumpang yang tadinya terdiam di dalam angkot yang kutumpangi itu, sontak tertawa mendengar jawaban Si Anak, minimal membuat senyum di wajah mereka.

Walah.. aku yang nggak sengaja tertarik untuk mendengar percakapan ini juga jadi tertawa sendiri. Kok bisa ya?
Masa kanak-kanak itu memang penuh dengan kelakar dan senyuman. Sementara menjadi dewasa boleh jadi kita hampir-hampir lupa bagaimana caranya untuk tersenyum dan tertawa.
Jadi teringat, kapan ya terakhir kali aku berlaku jahil macam itu? hehe...


Awal pertemuan dengan mereka tidak ada yang istimewa. Semuanya berjalan seperti biasanya, masuk ke ranah baru, adaptasi yang baru, perjuangan yang baru.
Namun, saat menapaki perjalanan ini beberapa waktu bersama mereka, tiba-tiba saja banyak hal tak terduga yang terjadi.

Sungguh, takdir ini seperti berpilin.. terhubung satu sama lain. Berjalan sejauh ini ternyata untuk menemukan jawaban atas doa-doa ku dahulu. Yaitu dipertemukan dengan mereka. Orang-orang yang punya minat yang sama dengan pendidikan.

Takdir itu kusadari dimulai saat tiga tahun lalu. Aku selalu naik bus bernomor sama dengan tujuan yang sama untuk pulang pergi merajut mimpi. Tiga tahun itu pula aku selalu bertemu dengan seorang akhwat yang selalu menaiki bus yang sama denganku. Beberapa waktu bahkan dia pernah sebangku denganku. Kulihat, sepanjang perjalanan dia terus saja sibuk dengan handphone nya. Jika tidak sedang mengetik sesuatu di telepon genggamnya, ia pasti sedang membaca Al-quran, atau berdzikir al matsurat. Aku tahu dia sekampus denganku, tapi tidak ada keberanian untuk sekedar menyapa menanyakan namanya. Aku sangat tertarik dengan akhwat itu, kagum lebih tepatnya. Ku perhatikan, dia pasti seseorang yang sibuk di organisasi tapi tetap menjaga amalan hariannya bahkan di waktu-waktu sempit yang dimiliknya. Dan setiap bertemu dengan akhwat itu di dalam bus, aku selalu termotivasi, bahkan "malu" bila tidak melakukan hal yang sama dengan dirinya, yaitu memperhatikan amalan harian. (Allah selalu mengingatkan hambaNya dengan cara yang istimewa, seperti pertemuanku dengan akhwat itu).

Entah kapan, tapi aku ingat, dalam hati saat diam-diam memperhatikan akhwat itu, aku pernah berbicara pada Allah swt, seperti berdoa: "Ya Allah, aku ingin bisa mengenal akhwat itu lebih dekat, mungkin mengetahui namanya sudah cukup, akan lebih mengasyikkan lagi jika seandainya aku bisa bersama dengannya dalam satu organisasi yang sama..."
Subhanallah... saat ini aku tidak hanya sekedar tahu namanya, tapi kamipun dipertemukan dalam organisasi yang sama, departemen yang sama, dan tujuan yang sama. Dan kebiasaannya yang dulu selalu kuperhatikan tidak pernah berubah sedikitpun. Setiap berkesempatan satu bus dengannya, Ia selalu menyempatkan diri membaca al quran, atau berdzikir al matsurat. Sekali waktu kuceritakan hal ini padanya, tapi dia sendiripun tidak menyadari kalau selama ini kita sudah saling "mengenal".
Allah selalu memudahkan pertemuanku dengannya. Sekarang akhwat itu telah menjadi salah satu teman terbaikku. Saudariku yang selalu bersemangat.

Setiap dari mereka terasa bukan seperti orang asing. Karena sejatinya mereka bukanlah orang asing bagiku. Tiga tahun lalu aku juga bertemu dengan "bunda" kami. Sahabatku yang mengenalkan ku dengan akhwat yang kini kuanggap seperti "bunda"-nya anak-anak ^_^. Tapi bodohnya, aku selalu saja lupa namanya. Hingga setiap bertemu, aku sigap memasang senyum terbaik untuk menebus "rasa bersalah" karena tidak bisa menyebut nama beliau yang ternyata lebih dewasa dua tahun dari angkatan kami, hehe...
Entah kapan, aku ingat, aku pernah bergumam dalam hati ketika sedang mengobrol dengan akhwat tersebut, "jika saja aku bisa menjadi temannya. Pasti akan sangat menyenangkan bisa memiliki teman sepertinya. Semoga..."
Subhanallah, lagi, Allah mengabulkan permintaanku. Kini aku tidak mungkin lagi melupakan namanya. Di persimpangan itu aku dipertemukan dengannya, dalam satu organisasi yang sama, satu departemen yang sama, dan satu tujuan yang sama. Saudariku yang selalu mengayomi kami semua tanpa pamrih.