Malam ini bulan hampir mencapai purnama. Azalea terjaga, mata tak bisa terpejam. Ide gila datang menyelusup, terpikir untuk menyapa sang malam. Perlahan menaiki tangga bambu yang berbunyi mengerikan ketika dipijak. Malam itu hanya dia dan bulan. Di atas atap rumah bertemankan sebuah notebook dan coklat panas. Jari jemarinya mulai menari, merekam dialog antara dirinya dan pancaran semu..
A: Ingin jadi ujung tombak perubahan, nyatanya malah jadi ekor perubahan. Hati rasanya tidak pernah sesakit ini saat dulu pernah melupakan. (uap panas secangkir coklat panas membumbung mengangkasa)
S: Sungguhkah ingin menjadi ujung tombak? itu membutuhkan pengorbanan yang luarbiasa..
A: iya, aku tahu. Kau tahu, Derap langkah ini rasanya ingin sekali membersamai mereka. tapi raga belum mampu menyejajarinya. Tak pernah rindu seperti ini, rasa akan dakwah begitu membuncah seperti akan tumpah. Dan sesal tiada bertepi datang melengkapinya.
S: memang seperti apa rasa dari dakwah? semanis coklat di cangkir itukah? bukankah dulu kau pernah dengan lantang meneriakkan di hadapan adikmu, apapun yang terjadi, Allah dulu baru yang lain. Dan itu membutuhkan pengorbanan, rasa yang tidak selalu manis.
A: sungguhkah aku pernah mengatakan itu? (wajahnya menengadah ke langit. Bulan tersenyum)
ah ya, aku ingat. dulu, semangat ini begitu menggelora, selalu jadi yang pertama.selalu rela mendepankan semua untuk dakwah dan tak pernah ragu untuk itu.
S: lalu bagaimana?
A: Benarkah yang kulakukan sekarang ini yang dinamakan telah berdakwah? menyeru kebaikan? atau hanya sekedar tampil di hadapan makhluk yang fana'? Benarkah seperti ini? Atau hanya hanya sebuah label yang tersemat agung dalam pancaran semu tanpa fakta.
S: mungkin saja. terkadang manusia memang seperti itu kan? terlalu sibuk memikirkan label? bangga dengan status semu. seperti aku. Lalu lupa dengan tujuan semula ketika semangat menggelora menyeru kebaikan.
A: itukah diriku?
S: tergantung, apa niatmu dahulu ketika memutuskan melangkah bersama mereka.
A: sepertinya aku sudah tidak ingat lagi dengan ikrarku dulu. dapatkah kau mengingatkanku? perjalanan ini terlalu berliku, hingga aku hanya sibuk di satu titik.
S: bagaimana dengan impian pelangi?
A: pelangi? skenarioku terdahulu?
S: ya, sekarang bukankah kau punya karton kosong lainnya untuk kau lukis menjadi pelangi?
A: (menatap bulan lagi. tanpa sadar, airmatapun meleleh) karton milikku, kenapa justru aku lupa? kenapa justru aku yang diingatkan oleh orang lain? karton putih milikku kini masih belum tersentuh goresan warna seindah pelangi yang kuimpikan. Dilema.
S: siapa yang kau tuntut? yang lain? kenapa bukan dirimu? pena itu ada di tanganmu. mintalah Dia untuk membantumu menggoreskannya.
Ping!! (sebuah pesan singkat masuk)
"kita bersama di sini, sejatinya kita tidak harus menjadi sama. Setiap orang memiliki potensi masing-masing. karena itu, maksimalkan dan tunjukkaa potensi yang kita punya. dan satu lagi, karena apa yang kita lakukan disini semuanya karena cinta)
S: lihat, kau kembali diingatkan. betapa indah persaudaraan bukan? persaudaraan yang terikat karenaNya.
A: karena cinta. itukah jawaban yang aku cari selama ini? karena cinta akan meminta segalanya darimu, waktu luangmu, tidurmu, hidupmu bahkan dalam mimpi-mimpimu. (ia mengulang ucapan yang pernah ia katakan dahulu pada saudara-saudaranya).
S: sekarang bergeraklah. akan ada hal yang sangat berat jika kau terus memikirkannya. tapi, akan ada hal yang teramat ringan jika kau mulai mengerjakannya.
A: perasaan bersalah ini. hati yang sedang merasa mengecewakan. berada di titik seperti ini, membuatku terpikir akan banyaknya pilihan dan posisi ketika kau mau melihatnya dengan hikmah. lucu, dulu aku pernah mati-matian menangani pesakitan macam diriku saat ini, sekarang aku justru yang duduk menjadi terdakwa di kursi pesakitan itu. lucu, sosok yang kubenci, kini aku menjelma menjadi dirinya.
S: semuanya akan baik, jika kau mau sedikit saja mengubah cara pandang. bukankah kau fasih dengan itu?
A: rasanya ada saat dimana aku seperti bicara dengan bisu, mungkin dengan batu.. hati sudah terlalu sesak diperlakukan seperti ini dan itu. mungkinkah rasa sesak ini yang telah membuatku menjadi sosok yang kubenci, sekarang? karena terlalu sering dikecewakan? lalu mengecewakan orang lain?
S: seharusnya itu bukan sebuah jawaban. cinta-lah jawaban sebenarnya. tak masalah kalau kau tak mampu menjadi sama. luruskan niat hanya untuk mencari ridhoNya. lalu dengan bantuanNya, mulailah menggores sketsa pelangi di karton milikmu perlahan. ketulusan yang akan mengalahkan segalanya. tapi ingat, semuanya membutuhkan pengorbanan, kau bisa mulai belajar untuk itu. mengurangi waktu-waktu istirahatmu mungkin, atau pikirkan hal yang bisa kau lakukan.
A: aku sudah tahu... goresan di atas karton dan mewarnainya seindah pelangi. apa warna yang lebih indah dari pelangi?
S: jawabannya ada di dalam hatimu.
Bulan diatas sana masih tetap sama, tapi hati Azalea malam ini tidak pernah lagi menjadi sama. Ia dan pancaran semu. sebuah refleksi yang menyenangkan.