twitter




Ketika bertemu saudara, tak kan habis perbincangan di antara keduanya. Waktu seakan berhenti. Terhadap yang dikasihi, terhadap yang sudah lama tidak berjumpa. Bagaikan bertemu dengan potongan diri kita yang lain. Perasaan seperti ini. Ukhuwah islamiyah yang mempertemukan kita.
Sore itu, aku kembali bertemu denganmu, wahai sahabat. Bagaimana kabarmu setelah sekian lama? apakah kamu baik-baik saja? apakah kamu masih seperti sahabat yang aku kenal dulu. Si kecil yang bersemangat dan tidak kenal lelah. Kaukah itu yang selalu mengenggam tanganku ketika aku sudah lelah berlari mengejar mimpi, menyebarkan kebaikan.
Bagiku, waktu membeku di saat terakhir kita bertemu. Kau yang kukenal adalah kau yang saat itu. Kau yang kukenal adalah kau yang ada di dalam foto itu saat kita pergi bersama mendaki Tangkuban Perahu. Di antara udara beku yang berasap-asap. Melepas lelah setelah seharian ditempa dengan ujian kesabaran dan keyakinan. Dalam foto itu, ah, aku tidak bisa melupakan senyumanmu yang begitu lepas. Bahkan setiap kali, sejak saat itu, ketika aku kembali lelah dan  kau tidak lagi berada di sisiku untuk menyemangatiku seperti dulu, aku akan melihat fotomu, dan semangat itu secara ajaib akan mendatangiku.
Sahabat, masihkah kau, sahabat yang kukenal dulu? Aku selalu mencari diriku di dalam sorot matamu. Kau adalah orang yang mampu membuatku menangis jika teringat dengan kelalaian yang pernah kulakukan terhadap amanah-amanah ini. Hanya dengan melihatmu, aku bisa mengingat bahwa di pundakku terdapat amanah yang tidak seberapa jika dibandingkan denganmu. Dan aku pasti bisa menunaikan semua amanah itu.
Masihkah kau ingat, saat pertama kali kita menjajaki perjalanan mental itu? Tanganmu yang selalu terulur ketika aku hampir jatuh tergelincir di tanah basah yang liat. Juga pelukan yang kau berikan untuk saudarimu tanpa memedulikan kotornya baju berlumpur saat itu. Itu yang aku ingat. Waktu bagiku, seperti membeku. Potongan dirimu ada di sana.
Sore itu ketika aku bertemu denganmu, rasanya tenggorokanku seperti tercekat. Sinar matamu tak lagi sebinar dahulu. Aku menyesal, mungkin saja. Maafkan aku yang sudah membiarkanmu memikul beban amanah besar ini sendirian. Apakah kau merasa sendiri? si kecil yang bersemangat. Mungkin saja, aku turut andil menyebabkanmu seperti ini. Maafkan aku, yang tidak selalu bisa mengenggam tangamu ketika kau kelelahan. Maafkan aku yang ingkar janji padamu. Rasa penyesalan ini seperti bongkahan batu besar yang terhujam di hati. Rasanya sesak sekali. Tapi aku tidak tahu lagi jalan mana yang harus kupilih untuk kembali.
Sahabat, kau yang sore itu. Aku tidak melihat lagi si kecil yang selalu bersemangat. Sahabat, apakah kau bisa mendengarku?  Aku melihat kau kini tergeletak lemah di tempat tidur. Sorot mata bersemangatmu tidak lagi terpancar di sana. Tapi aku bisa melihat seulas senyuman sekaligus kesedihan di wajahmu. Terdiam. Adakah kau mendengarku?


0 komentar:

Posting Komentar