Ketika bertemu saudara, tak kan habis perbincangan di antara
keduanya. Waktu seakan berhenti. Terhadap yang dikasihi, terhadap yang sudah
lama tidak berjumpa. Bagaikan bertemu dengan potongan diri kita yang lain.
Perasaan seperti ini. Ukhuwah islamiyah yang mempertemukan kita.
Sore itu, aku kembali bertemu denganmu, wahai sahabat.
Bagaimana kabarmu setelah sekian lama? apakah kamu baik-baik saja? apakah kamu
masih seperti sahabat yang aku kenal dulu. Si kecil yang bersemangat dan tidak
kenal lelah. Kaukah itu yang selalu mengenggam tanganku ketika aku sudah lelah
berlari mengejar mimpi, menyebarkan kebaikan.
Bagiku, waktu membeku di saat terakhir kita bertemu. Kau yang
kukenal adalah kau yang saat itu. Kau yang kukenal adalah kau yang ada di dalam
foto itu saat kita pergi bersama mendaki Tangkuban Perahu. Di antara udara beku
yang berasap-asap. Melepas lelah setelah seharian ditempa dengan ujian
kesabaran dan keyakinan. Dalam foto itu, ah, aku tidak bisa melupakan
senyumanmu yang begitu lepas. Bahkan setiap kali, sejak saat itu, ketika aku
kembali lelah dan kau tidak lagi berada
di sisiku untuk menyemangatiku seperti dulu, aku akan melihat fotomu, dan
semangat itu secara ajaib akan mendatangiku.
Sahabat, masihkah kau, sahabat yang kukenal dulu? Aku selalu
mencari diriku di dalam sorot matamu. Kau adalah orang yang mampu membuatku
menangis jika teringat dengan kelalaian yang pernah kulakukan terhadap
amanah-amanah ini. Hanya dengan melihatmu, aku bisa mengingat bahwa di pundakku
terdapat amanah yang tidak seberapa jika dibandingkan denganmu. Dan aku pasti
bisa menunaikan semua amanah itu.
Masihkah kau ingat, saat pertama kali kita menjajaki
perjalanan mental itu? Tanganmu yang selalu terulur ketika aku hampir jatuh
tergelincir di tanah basah yang liat. Juga pelukan yang kau berikan untuk
saudarimu tanpa memedulikan kotornya baju berlumpur saat itu. Itu yang aku
ingat. Waktu bagiku, seperti membeku. Potongan dirimu ada di sana.
Sore itu ketika aku bertemu denganmu, rasanya tenggorokanku
seperti tercekat. Sinar matamu tak lagi sebinar dahulu. Aku menyesal, mungkin
saja. Maafkan aku yang sudah membiarkanmu memikul beban amanah besar ini
sendirian. Apakah kau merasa sendiri? si kecil yang bersemangat. Mungkin saja,
aku turut andil menyebabkanmu seperti ini. Maafkan aku, yang tidak selalu bisa
mengenggam tangamu ketika kau kelelahan. Maafkan aku yang ingkar janji padamu.
Rasa penyesalan ini seperti bongkahan batu besar yang terhujam di hati. Rasanya
sesak sekali. Tapi aku tidak tahu lagi jalan mana yang harus kupilih untuk
kembali.
Sahabat, kau yang sore itu. Aku tidak melihat lagi si kecil
yang selalu bersemangat. Sahabat, apakah kau bisa mendengarku? Aku melihat kau kini tergeletak lemah di
tempat tidur. Sorot mata bersemangatmu tidak lagi terpancar di sana. Tapi aku
bisa melihat seulas senyuman sekaligus kesedihan di wajahmu. Terdiam. Adakah
kau mendengarku?