Lima tahun kau membunyikan simfoni indah itu, yang membimbingku dan teman-teman. Mengantarkan kami menapaki jalan keridhoan-Nya. Kau ajari kami banyak hal. Kau bagikan ilmu tanpa merasa rugi dan lelah. Kesabaranmu dalam menghadapi tingkah kami yang kekanak-kanakkan dan menjemukan. Kasih sayangmu, perhatianmu. Kau adalah teman, kakak, ibu, dan guru terbaik yang pernah kumiliki. Yang menjadi pengisi hari dan tambahan semangat di tiap pekan yang berlalu. Selalu tak sabar bertemu. Ada perasaan was-was tiap kali berjumpa denganmu, sambil terus bertanya pada diri apakah aku sudah lebih dan lebih baik dari pertemuan kita yang terakhir. Lima tahun. Kenangan yang ada bersamamu.
Ketika teman seperjuangan datang silih berganti sementara Aku tetap di sini. Kepergian yang memilukan dan pertemuan dengan teman baru lainnya yang menyenangkan. Saat bersamamu, tak pernah kutahu betapa besar arti kehadiranmu. Kau yang dulunya asing. Bahkan hati sempat membenci karena harus berpisah dengan orang yang lebih dulu kusayangi. Perlahan mencoba menerima keadaan, belajar untuk melepaskan. Dan akhirnya ketika Aku bisa menerima kehadiranmu, belum lama, Aku harus kembali berpisah. Dan kau menjadi asing kembali.
Teringat saat-saat bersama saling mengunjungi dengan teman-teman yang kini sudah tak berada di sini. Sekedar menanyakan kabar, menyambung, dan mengeratkan tali silaturahim. Kegiatan memasak bersama, juga ketika kami berdebat antara bakso daging sapi dan ikan :) dengan bijak kau mengatakan masakan itu tetap enak walau rasanya agak aneh. Teringat, saat kita bersama-sama ber-itikaf di malam penuh berkah di Bulan Ramadhan tahun itu. Ketika kau membawa persiapan yang kami butuhkan tanpa pamrih saat kami bahkan tidak terpikir untuk membawanya, dan saat kita menikmati makanan itu bersama-sama, saling berbagi. Juga ketika untuk pertama kalinya tahun lalu, aku membuat masakan untukmu ketika ifthar bersama di rumah yang baru. Saat itu, karena ulahku, seluruh masakan menjadi asin.. :) Tapi kau tetap menyantap masakan itu dengan penuh penghargaan.
Saat itu tidak pernah terpikir bahwa kita akan/harus berpisah. Kupikir selamanya kau bisa menjadi kakak bagi kami. Sedari kami masih mengenakan baju putih abu, hingga kini kami sudah mengenakan toga, mencicipi bangku kuliah, dan berbaur dengan masyarakat dalam pekerjaan. Selama itu, walau iman dan semangat kami seringkali pasang dan surut, tapi kau setia membimbing kami. Hingga akhirnya aku tersadar. Perpisahan adalah hal yang pasti. Tiba-tiba saja, aku selalu merindukanmu, diam-diam berharap, perpisahan ini tidak perlu terjadi.
Saat berpisah, hati ini terus kubujuk. Terus bertahan untuk kuat. Untuk tidak menangis di depanmu. Hingga saat deru mobil membawaku pergi dari tempatmu, airmataku pun tak mampu kubendung. Tak kupedulikan lagi sekeliling. Kulihat lamat-lamat jalanan yang setiap pekan kulalui untuk berkumpul bersama dalam lingkaran ukhuwah itu. Tiba-tiba tersadar. Tilawah qur'an tadi mungkin saja menjadi tilawah terakhir bersamamu. Jabat hangat dan pelukan tadi mungkin saja yang terakhir. Salam yang terucap tadi juga mungkin saja menjadi yang terakhir... Dalam doa rabithah yang lirih terucap sambil membayangkan wajahmu dan teman-teman.
Ukhti... Terimakasih...
Doomo Arigatou gozaimasu!
Gamsahamnida...
Jazakillah Khairan Katsiran...
Telah menjadi teman, kakak, pengganti ibu, dan guru yang baik.
Mohon maaf atas segala khilaf selama ini. Aku akan berusaha menjadi pribadi yang baik dan tidak akan mengecewakanmu. Semoga kelak Allah SWT akan mempertemukan kita lagi dalam lingkaran ukhuwah itu di jannah-Nya.